image
Schutzie's Blog
image image image image
Kamis, 08 Januari 2009

Schutzie tak bisa tidur--

Jadi, gadis itu menyibak selimut yang tadi menghangatkannya, lalu keluar dari kelambu putih yang menyelubungi ranjangnya. Berjalan pelan sambil berjingkat-jingkat dan memeluk boneka Hello Kitty kesayangannya. Jangan sampai Olive, dan teman sekamar lainnya ikut terbangun juga. Sleep tight lady snake—Schutzie tersenyum tipis dan melayangkan kiss bye pada teman-temannya. Kemudian mendorong pelan pintu batu kamar anak perempuan. Mawas diri—jangan sampai masih ada prefek du Noir tercinta yang duduk manis di ruang rekreasi. Bisa mati berdiri bangswan pureblood satu itu bila melihat wajah Schutzie sekarang.

Yey! Salahkan Senior Elizabeth Gerardine yang tadi mempoles habis wajah imut Schutzie menjadi sangat buruk rupa. Katanya, agar wajah mulus Schutzie kelak tak dipenuhi bisul, bintil, komedo dan jerawat, harus di beri masker entah-apa-namanya-itu. Berbau aneh. Dan Schutzie muak. Dia harus cepat-cepat cuci muka sekarang, atau mandi sekalian. Dan buang masker aneh itu jauh-jauh. Baunya semakin aneh saja. Gadis itu bergerak pelan menuju pintu batu asrama Slytherin—melangkah santai segera setelah pintu mengayun terbuka meski jantungnya berdegup kencang. Cahaya remang selalu saja membuatnya berpikir—Peeves ada di mana-mana. Schutzie menyembunyikan kepala dan wajah buruk rupanya di balik tudung piyama merah jambu lucunya. Sementara pelukannya pada boneka dan cengkraman mangkuk berisi masker itu, semakin dieratkan.

"Blomfieeeelldddd!!"

“AKU LAPAR, SIAPAPUN, DIAMLAH DAN BIARKAN AKU MEMESAN MAKANANKU.”

“DRAGON—PUNCH!!”


Hell. Schutzie tergoda untuk berhenti melangkah, dan menoleh. Lebih tepatnya, menjulurkan kepalanya ke arah dapur. Tempat dimana sekarang beberapa—wotdehel—ada BANYAK anak. My Lord, kekacauan baru saja terlaksana lagi. Schutzie tersenyum miris. Berjalan pelan tanpa memperdulikan kekacauan sekitar. Mata hitamnya terpancang hanya pada satu sosok, Nona Bloomfield yang manis. Bocah tengik berambut hitam—yang ternyata cukup menyita perhatian Marius. Well—something like jeleously—am I wrong?

Just shut up your dirty mouth and let's see--

--CROOOT

“Ini bagus dear, untuk mencerahkan wajahmu yang selalu sendu itu--” enjoy it, Nona Bloomfield. Tenang saja—tak ada zat merkurinya kok. Schutzie hanya menyalurkan emosinya pada orang yang tepat. Membuat gadis itu tampak seperti patung lilin Madam Thousand yang meleleh. Wajah Bloomfield berlumuran masker putih berbau tidak-enak. Dan sasaran empuk lainnya, berdiri tak jauh dari Schutzie—sangat mencolok di tengah para makhluk luar biasa yang sedang bersenang-senang di dapur.

Rambut pirang menyebalkan seperti sepupu Morinaga jahannam—dengan bando kelinci yang menggemaskan. Hey, Schutzie cinta bandonya. “Ah ya—kau juga harus pakai ini, dear. Alami loh--” Schutzie membasuh wajah menjijikkan di hadapannya, dengan sangat telaten. Masker putih berbau-tak-sedap itu kini menutupi wajah si anak pirang berbando kelinci.

"Ada yang mau lagi?" tanya Schutzie polos, sambil menjunjung tinggi mangkuk berisi masker putih yang tinggal separoh itu. Sedikit memaksa—dan sekali lagi, MaCbeth tak pernah meminta. Itu perintah—Nona Manis.


***

Lord Salazar akan bangkit dari kubur—dan menangis nista sambil mengais tanah kuburannya sendiri. Hell. Ada yang korslet dengan topi seleksi sekarang. Terlalu banyak ular berbisa di tempat ini—Schutzie yakin. Satu, dua ck tiga—err oke, setidaknya ada tiga ditambah satu, total berapa? Bodoh-- ada empat Slytherin yang Schutzie kenal. Power Rangers gadungan musim panas lalu yang menyebabkan nilai Slytherin merosot total. Antek-antek si kriting menyebalkan, Nicolas 'dodol' Morcerf. Belum puas bermain dengan para bayi musang yah, anak manis—titisan iblis? Oke, pernah dengar statement bahwa jika ular berkumpul bersama di suatu tempat adalah pertanda hal buruk akan menimpamu? Hoho. Siapapun Gryffindor atau Hufflepuff bahkan Ravenclaw disini, sebaiknya bergegaslah angkat kaki. Hanya saran, tentu. Terserah kau mau percaya atau tidak.

"Kau tahu? Aku biasa memakai masker alpukat. Bagaimana kalau kulitku yang selembut pantat bayi ini berjerawat? Hwahwa.” Schutzie menurunkan tangannya yang sejak tadi terjulur ke udara. Mengamati lekat-lekat si pirang norak berbando kelinci itu. Hey—ada yang tidak beres—suaranya aneh—dan wajahnya? Err—sepertinya tidak proposrsional untuk ukuran seorang gadis. Schutzie memicingkan mata—mengamati pirang norak itu lekat-lekat, dan ber ooh-- pelan saat si pirang mengecup pipi junior Slytherin perempuan yang sempat pingsan beberapa bulan lalu—siapa namanya, err—Dulce—Duke—Dusty, eh? Oh whatsoever.

Ini semakin tidak beres.

Untung saja Tristain datang di waktu yang tepat dan mengalihkan perhatian Schutzie dari tontonan tak layak konsumsi itu. Nista. Wanita mencium wanita? Hell. Seperti tak ada saja makhluk berjenis kelamin pria di ruangan ini. Schutzie memandang berkeliling—suasana dapur sangat 'manis' sekali malam ini. Sayang untuk dilewatkan begitu saja—dan Schutzie tersenyum polos ketika Tristain berbaik hati mau melemparkan pudingnya untuk siapa saja yang Schutzie tunjuk malam ini. Well—mari kita lihat. Junior ada di mana-mana, yang senior? Aih, hanya segelintir saja dan umumnya Slytherin. Nope. Schutzie tak tega menyerang kubu sendiri—tapi wait, sepertinya ada yang masih santai-santai saja di ujung sana. Ck ck ck—Schutzie berdecak sebentar, lalu berbisik pelan di telinga Tristain. Detik berikutnya—puding di tangan Tristain melayang lurus ke arah anak lelaki berpiyama hitam dengan tampang dingin yang mengingatkan Schutzie pada Senior Amakusa—jengah. Yeah. Entahlah, Schutzie tiba-tiba enggan saja melihat segala sesuatu yang berwana hitam. Black. Itu harus dibuang jauh-jauh dari memori otaknya. Blacklist.

"Taste lovely?"

Demi Merlin yang bergoyang hula-hula, Schutzie menggeram marah ketika tiba-tiba saja sensasi basah mengalir di sela-sela rambut dan tengkuknya. Jangan lupa, ini bau. Menjijikkan. Tak perlu menebak siapa pelakunya—dipastikan, si Bloomfield sialan itu cari gara-gara. Well—as you wish, Little Missy. Schutzie berbalik, mengulaskan senyum malaikat pada si bocah. Menuangkan seluruh cairan lengket bertekstur kasar yang ada di dalam mangkuknya tepat di atas rambut Bloomfield. “Dijamin—rambut hitam milikmu itu akan bercabang, kemerahan, patah-patah dan oh jangan lupa baunya, sweety. Tidak akan hilang meski kau mandi kembang tujuh hari tujuh malam, trust me!” Schutzie mendesis sadis, masih tetap tersenyum. Menikmati sosok Bloomfield yang bermandikan masker campuran sari fosil karang laut bercampur daging ubur-ubur. Yeah—kata Senior Gerardine sih begitu.

Selanjutnya Schutzie bergerak perlahan ke arah meja dapur, meraih segelas air lalu mengguyur kepalanya sendiri—beberapa kali. Setidaknya, tubuhnya sekarang tak nampak semenjijikkan tadi. Meski konsekuensinya Schutzie harus basah kuyup bagai korban badai Tsunami. Schutzie berbalik, hendak kembali ke asrama saja, tadinya. Sebelum indera penciumannya menangkap wangi khas. Wangi. Leci. Lipgloss lecinya tepatnya, yang raib entah kemana seusai makan siang tadi. Hell. Pelakunya ada di antara sekian anak abnormal di dapur ini? Siapapun. Dipastikan. Hidupnya. Tak. Akan. Tenang. Janji. Schutzie menoleh, baunya semakin jelas tercium dan kristal hitam beningnya terpancang pada sosok pirang menyebalkan yang berbando kelinci tadi. Sambil berjalan lurus ke arah si pirang yang kini berdiri di samping Dulce-Dusty-Duke entahlah, gadis itu bertanya lirih sambil menelengkan kepala. Mencermati wajah abnormal di depannya. “Hei—kau Slytherin bukan?” Schutzie menekuk lutut sedikit, agar tinggi mereka sejajar. Lalu mendekatkan wajahnya ke arah si pirang. Jelas. Baunya tercium tak lagi samar. Schutzie semakin mendekatkan wajahnya. Sangat dekat.

****
Lipglossnya hilang—dan itu satu-satunya aset berharga bagi Schutzie. Tolong bayangkan, mengikuti pelajaran sejarah sihir yang membosankan tanpa semerbak leci yang bisa dijilat kapan saja itu. Mimpi buruk. Ayolah, disini tak ada yang jual lollypop—stock permen honeydukesnya juga sudah habis, bahkan jelly kecoak pun laris diembat Senior Gerardine si gentong berjalan dari Slytherin. Setelah ini, sumpah akan Schutzie kempeskan seniornya yang satu itu. Tapi pertama-tama, mari kita teliti dulu siapa dibalik kedok bitchy bunny di depan ini. Wanginya ituloh~mengundang.

Plakk!

Oh my gosh. Belum juga Schutzie bertindak, bitchy bunny sudah ditampar terlebih dahulu oleh Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Dipastikan atas ulah noraknya tadi, mencium si Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Oh mai, si banci ini pasti akan ditusuk-gigit-tendang oleh siapapun anak laki-laki--teman spesial--yang dekat dengan si Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Bersiaplah dear sweety bunny, hidupmu tak akan lama. Apalagi bila terbukti bahwa banci norak ini menggunakan lipgloss Schutzie? Awawawaw, dipastikan akan terkutuk menjadi kodok bisul tujuh turunan.

Peduli setan pada semua kerusuhan yang terjadi di tempat ini—terserah ada berapa banyak makanan melayang di udara, teriakan norak anak-anak bau kencur yang terlambat cuci kaki dan sikat gigi hingga nyasar ke tempat ini—semuanya--Schutzie tak perduli. Tatapannya hanya terfokus pada satu arah, tajam dan tidak berkedip. Banci pirang norak berbando kelinci di hadapannya ini sangat well--menarik. Bertambah saja pesona banci ini ketika selembar (?) steak melayang dengan manis dan mendarat di kepala si banci. Lengkap dengan semerbang aroma leci yang—wotdehel—astaganagabonarjadidua!! You have stolen my lipgloss, dear. Schutzie semakin memajukan wajahnya mendekati si banci berbando kelinci. Gadis itu membulatkan matanya sambil mengendus-endus seperti anjing pudel yang manis.

“I got—” Schutzie tak bisa melanjutkan jeritannya. Bibirnya terkunci—tak bisa bergerak. Ada sesuatu yang menguncinya—bibir si pirang nista—tepat di bibir Schutzie. Lips to lips. Menempel? Ciuman dong? Hayaaaaaa! Schutzie segera saja mendorong tubuh itu jauh-jauh. Nista. Hueekkk. Schutzie mau muntah—mana ember? Gadis itu shock, membatu tapi herannya, ia tak sadar mengulum bibirnya sendiri. Rasa lecy. Itu lipglossnya. Dan makhluk yang mencuri lipglossnya juga mencuri ciuman pertamanya. Arrgghhh. Mati kau, jahannam.

Schutzie menarik paksa si pirang berbando kelinci dari pelukan muka-belakang dua anak norak yang entah kenapa begitu berminat pada si jahannam satu ini. “Minggir dear, aku punya urusan dengannya!” Schutzie tersenyum sarkastis pada dua bocah yang memeluk si kelinci--yang ough ternyata wanita jejadian--menarik paksa lalu menamparnya denga telak. Di pipi.

“You have stolen my lipgloss—and my first kiss too” Schutzie menjambak rambut bocah tengik di depannya dengan penuh emosi. Schutzie tahu,ia berhadapan dengan siapa. Mallandart, sekutu Nikki. Jadi, dimana Lazarus? Yeah, bocah satu itu pasti juga ada di sini, maka lengkaplah formasi Power Rangers gadungan. “KEMBALIKAN LIPGLOSSKU MALLANDART!!” oke, Schutzie sudah muak—dan pasrahlah Mallandart, Schutzie menjadikanmu pengganti samsak. "Sial--CIUMAN PERTAMAKU JUGA! Kembalikan" gadis itu memukul-mukul Mallandart dengan sangat bernafsunya.

10.30


Lagi.

Tidak seperti biasanya, dimana Schutzie betah berada di tengah hiruk pikuk keramaian—kali ini gadis berdarah Dutch itu memilih terperangkap dalam dunianya sendiri. Menutup mata, hati dan telinganya akan sekitar. Memejamkan mata sejenak dan membiarkan hembusan angin membelai lembut lapisan kulit terluarnya. Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu berdiri di tempat ini. Sendirian menantang angin yang berhembus kencang—terkadang diselingi dengan butiran salju putih kecil yang bergerak lambat, jatuh menutupi permukaan tempat dimana gadis itu berpijak. Lapangan Quidditch—menjadi tempat favoritnya sejak kali pertama gadis itu menginjakkan kaki di Hogwarts.

Tepatnya—sejak ia melihat sosok itu terbang mengejar golden snitch bersayap dan menit berikutnya tersenyum lega sambil meninju udara tepat ketika peluit Madam Hooch ditiup—berganti dengan gegap gempita dari kubu Slytherin. Tanda bahwa kemenangan ada dalam genggaman asrama brlambang ular itu. Sensasi itu sudah lama sekali rasanya tak pernah menyergap Schutzie. Bahkan kemenangan telak Slytherin tempo hari, yang menggilas habis Hufflepuff sebanyak 210 angka—tak begitu berarti tanpa senyum Black ditengah deretan para anggota tim Quidditch yang meluncur turun dari sapu masing-masing.

Yeah.

You’ve taken everything I am
Everything I thought I could be
Too fragile, too broken
To stop now…


Schutzie membuka matanya perlahan—berharap saat ia melakukan hal itu, keajaiban kecil terjadi. Sosok itu berkeliaran lagi dengan lincahnya di atas sana, dan Schutzie akan setia mengaguminya dari sini. Selamanya. Tapi langit tetap kelabu—tanpa ada satupun tanda bahwa seseorang baru saja melintas terbang di atas sana. Schutzie tetap sendri.

****


Kepala Schutzie masih ditengadahkan seolah menentang langit. Satu dua kali titik salju turun menerpa kulit putih pucatnya. Tak mengapa—karena tak terasa dingin sama sekali. Ada sesuatu di dalam sana—tersembunyi tepat di mana hati kiranya berada—terasa hangat. Gurat kesedihan di wajah pucat gadis itu, mulai terbias. Senyumnya terulas—meski hanya sedikit. Meski hatinya sakit—tersadar bahwa semua yang dilakukannya selama ini sia-sia. Black tak pernah menganggapnya ada dan memang Schutzie bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis berusia tiga belas tahun yang memuja Black sepenuh hati. Utuh. Penuh. Entah kenapa dan bermula dari mana.

Angin berhembus semakin kencang—dan Schutzie pasrah saja rambut hitamnya tergerai berantakan ditiup angin. Mantel kuning gadingnya yang berbahan tweed—membalut rapat tubuh gadis itu. Berikut topi serta syal berwarna senada yang melingkar di lehernya. Gadis itu tak lagi menengadah—kepalanya ditundukkan. Ujung sepatu boots coklatnya menjadi pusat perhatian kini. Memikirkan kemana lagi kakinya akan melangkah setelah ini—setelah merasa cukup puas sekaligus sia-sia menanti Black di tempat ini.

Tubuh itu sudah akan bergerak ketika tiba-tiba saja Schutzie mendengar gemerisik langkah kaki orang lain. Well—jangan bilang itu Nikki sialan. Habis Schutzie diledek bila memang begitu adanya. Tapi ketika kepala Schutzie ditolehkan, ia mendapati sosok lain—junior sepertinya—berdiri tepat di sampingnya, lebih pendek beberapa inchi dari Schutzie.

“Sendirian, miss? Memikirkan seseorang?” Schutzie mengerjapkan matanya. Berusaha menerka siapa gerangan anak lelaki dengan rambut hitam menjuntai menutupi sebagian wajahnya itu. Hanya binar hazel redup yang bisa ditangkapnya dari sosok itu.

“Well—tadinya iya, aku sendirian. Tapi—” Schutzie membentuk lengkungan di bibirnya, tersenyum manis sebelum melanjutkan kata-kata. “—tapi sekarang tak lagi. Kau di sini kan? menemaniku?” yeah. Siapapun dia, meski Schutzie tak mengenalnya—tapi anak itu cukup membantu saat ini. "Ah ya--aku MaC--err Schutzie. Dan kau?" semoga siapapun anak ini, tak bisa membaca apa yang tersirat dibalik binar gelap bola mata Schutzie. Too fragile.

That I've fallen down and I can't do this alone
Stay with me, this is what I need, please?

****

Bola mata Schutzie masih menatap lekat-lekat anak lelaki di sampingnya itu. Sumpah, Schutzie belum pernah melihatnya sama sekali—tidak mungkin anak itu seangkatan dengan Schutzie. Pasti junior—yeah, pasti. Satu atau dua tahun dibawahnya. Dan asramanya? Slytherin kah? Ah masa bodohlah—dia anak Hufflepuff juga peduli setan. Schutzie tak mau pusing-pusing memikirkannya. Selama anak itu bersikap baik—Schutzie juga akan berlaku sama. Lagipula—well, jujur saja Schutzie memang sedang butuh teman saat ini. Setidaknya untuk berbincang ringan. Mengalihkan perhatiannya yang senantiasa tercurahkan sepenuhnya pada Black. Case closed. Tanpa ada maksud lain—apalagi tebar pesona ke junior loh ya. Haha. Schutzie bukan pedofil. Meski err—Schutzie memang belum memiliki teman istimewa sih sampai saat ini. Semuanya hanya berstatus teman. Biasa. Well—ada beberapa yang memang dekat. Seperti Angela, Daniel, Tristain ....Nikki. Tapi come on, apa menurutmu Nikki bisa diajak berbincang senormal ini? Tidak. Darah Schutzie pasti semakin meletup-letup bila berhadapan dengan anak satu itu. Lalu Angela? Ah, dia semakin jarang saja beredar di mana-mana. Sudah berulng kali Schutzie mondar-mandir di pintu asramanya, namun nihil. Daniel juga begitu. Mulai sibuk mengikuti kemanapun Wina pergi—bisik-bisik anak Hufflepuff sih bilang begitu. Sementara Tristain? Dia punya adik—tentu saja akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan adiknya. Dan Schutzie sadar—mereka punya dunia sendiri.

“Schneider. Marius Schneider.” anak itu memperkenalkan diri pada Schutzie, menyebutkan kata yang kedengarannya seperti sneder-skender-apalah itu. Lebih baik Schutzie memanggilnya dengan nama depan saja. Dan beruntunglah—karena sepertinya Marius juga tak mengenal Schutzie sebagai Senior. Yeah—Schutzie tak suka ada embel-embel senior melekat di depan namanya. Mata Schutzie mengerjap satu kali. Syal hijau perak yang melingkar di tengkuk anak itu—menunjukkan bahwa dia Slytherin—sama seperti Schutzie Kebetulan yang menyenangkan. Mereka bisa sama-sama kembali ke sarang bawah tanah kalau begitu. Marius bersuara lagi—menanyakan kenapa Schutzie berada di tempat ini—yeah, Schutzie pun tak mengerti dear. Kenapa ia rutin sekali bertandang ke Lapangan Quidditch—padahal, ia bukan anggota tim. Hanya terlanjur cinta mungkin pada Quidditch—dan padanya. Seeker Slytherin. Mantan seeker tepatnya.

“Aku suka Quidditch, Marius—eh, boleh kan kupanggil begitu? Aku tak biasa memanggil seseorang dengan nama belakangnya. Canggung. Lagipula namamu susah sekali—tak bisa kueja. Heheh--” Schutzie tertawa renyah. Orang luar mungkin memaknainya dengan senyum alami—tapi nyatanya tidak. Kamuflase semata, agar Marius tak membaca raut muram Schutzie. Belum saatnya Schutzie membagi rasa sedihnya pada Marius—mereka baru saja kenal. Dan mungkin anak itu juga sedang punya masalah. Schutzie tak mau merepotkan Marius.

“Kau kedinginan ya?” Schutzie mengerling Marius yang hanya berbekal syal Slytherin. Pasti kedinginan. Segera saja gadis berambut hitam itu mencopot topi rajutnya—memasangnya di kepala Marius. Begitu pula dengan sarung tangan coklatnya—kini disodorkan pada Marius. “Pakai—dan jangan menolak. Aku tahu—kau kedinginan” gadis itu pura-pura memasang wajah mengancam—lalu tersenyum hangat setelahnya. Angin semakin kencang berhembus—menyibakkan rambut hitam Schutzie yang jatuh tergerai. Berantakan—yeah. Sama seperti sosok Black ketika baru saja meluncur turun dari sapu. Dan Schutzie suka—cinta gayanya saat membenarkan rambut.


****


Aneh sungguh anak di sampingnya ini. Marius—yeah, dia itu aneh. Tadi dia menyapa Schutzie dengan lancarnya—bertanya ini itu. Tapi sekarang? Sepertinya Marius lebih banyak diam dan membuang pandangan. Yayaya—sejak tadi memang anak itu tak banyak menoleh ke arah Schutzie. Hanya satu dua kali—dan cuma sebentar. Yeah. Setelah itu menunduk lagi atau kalau tidak—Marius memilih untuk memandang hamparan salju yang menutupi rumput hijau Lapangan Quidditch. Apa menariknya, eh? Dia juga mengidolakan para pemain Quidditch? Senior Laranayl mungkin? Atau Rastaban? Atau dia ada masalah juga—ada yang mengganggu pikirannya mungkin?

No one cares to talk about it,
can we talk about it?


Wahetever, yang jelas Marius tampak well—senyumnya berbeda—oh no. Jangan bilang, kau suka senyumnya, Schutzie. Gadis berambut panjang itu menghela nafasnya sambil merentangkan tangan. Otaknya sudah mulai mampet—aneh. Sekali lagi : INI ANEH. Senyum itu—meski hanya sekilas dan tak terlalu lebar, tapi mampu membuat Schutzie merasakan sensasi yang berbeda. Bukan, bukan nervous atau semacamnya. Tapi rasa bahagia—well, cerna sendirilah. Schutzie senang melihat senyum Marius. Seperti ketika kau melihat lengkungan pelangi kala hujan reda di sore hari. Jadi, itu namanya apa?

I don't mean to run,
But everytime you come around I feel,
More alive, than ever
And I guess it's too much


“Te..te—rima kasih.”
Tuh kan, Marius jadi lebih aneh sekarang. Kata-katanya terbata, seperti orang gugup. Schutzie menakutkan ya? Atau—jangan-jangan, anak yang berdiri di sampingnya ini—sedang sangat kedinginan? Gawat, bisa sakit dia kalau benar begitu. “Lalu, bagaimana denganmu—angin berhembus dengan kencang? Aku tidak bisa menerima hal seperti ini.” Eits, anak ini minta dimutilasi ya? Menolak topi rajut dan sarung tangan pemberian Schutzie? Nakal.

Jari-jari Schutzie selanjutnya sudah mengacak pelan rambut Marius—lalu merangkulnya tiba-tiba detik berikutnya. Yeah. Me-rang-kul. Melingkarkan tangannya di pundak anak lelaki yang lebih pendek darinya itu. Tidak kok, tidak cebol—hanya beda sekian senti saja. Hoho. “Kau pilih mana? Memakai topi dan sarung tangan itu—atau begini?” Schutzie mengerling jahil, tanpa gentar sedikitpun—berusaha menatap bola mata Marius. Sumpah, Tuhan. Schutzie tak berniat menggoda adik kelasnya ini. Tangannya bergerak refleks begitu saja—dan rangkulan itu hanya berdurasi sekian detik. Sepuluh mungkin—sekarang sudah bergerak sekali lagi untuk memasang—secara paksa—topi itu di kepala Marius. Lalu menyodorkan kaos tangannya juga untuk yang kedua kalinya. “Pakai saja—aku punya ini kok--” gadis itu menunjuk mantel kuning gading yang membuatnya tetap hangat. Lalu menoleh ke arah Marius—lengkap dengan senyuman yang juga hangat. Tulus.

"Jadi--apa yang membuatmu nyasar ke tempat ini, Marius?"

dan Schutzie lupa satu hal--

--dia tak ingat Black.


****


Entah kenapa, Schutzie tak lagi merasa bagai selongsong kulit tanpa isi. Tadinya hampa, kini lebih berwarna. Anak itu—yang kini memejamkan mata sambil menghirup udara lambat-lambat disampingnya, hadir memberi sesuatu entah apa. Berbeda—menarik dan misterius. Yeah—ada yang membuat Schutzie tak bisa beranjak begitu saja tanpa tahu lebih banyak tentang anak ini, Marius itu. Dia memiliki daya pikat tersendiri di balik sikap tertutupnya itu.

“Hanya sekedar berusaha melupakan kesedihan saja.”

Hei—apa tadi katanya? Berusahamelupakankesedihan? Schutzie memicingkan mata, alisnya saling bertautan. Berpikir. Anak yang kini berdiri di sampingnya—menunduk sambil tersenyum tipis sementara angin memainkan poninya yang melambai liar, sedang ada masalah. That’s point. Mereka senasib. Victims of love juga, eh dear? Who knows. Schutzie gagu menit itu juga—tak tahu harus bilang apa. Mereka baru kenal dan akan sangat lancang sekali bila Schutzie bertanya seperti ini : Siapa yang membuatmu sedih, sini kumutilasi. Yay. Sangat tidak tepat—meski sebenarnya Schutzie memang ingin tahu.

I had to stop myself
From saying something


Mata Schutzie mengerjap. Lalu bersin tiba-tiba tepat ketika Marius bergerak entah melakukan apa dan menit detik berikutnya gumpalan salju sudah mengotori lengan mantelnya tepat ketika Schutzie menutup hidung dan berseru ‘Hatchiiieeemm!!’. Gadis itu berkacak pinggang segera setelah sadar apa yang terjadi. Tapi Marius tak berhenti sampai disitu—Schutzie diterjang dua bola salju sekaligus. Lagi. “—karena berhasil memakaikan topi dan sarung tangan itu kepadaku.” kali ini Schutzie tak tinggal diam dan segera berjongkok untuk meraup salju sebanyak ia bisa. Brr—dingin juga rupanya, ketika serpihan es beku itu bersentuhan langsung dengan kulitnya. Tanpa sarung tangan. Tapi tak apalah. Marius pasti jauh lebih kedinginan bila sarung tangan itu Schutzie ambil kembali. Lagipula, kau pikir Schutzie setega itu, eh?

“Berani membalasku?—nona?” bah. With pleasure, Mister Baby Slytherin. Why not? Schutzie tidak sebaik itu, dear.

Gadis itu mengambil ancang-ancang agar lemparannya tidak meleset dan –BEEUUGGHH eng-ing-eng, bola saljunya telak menerjang wajah Marius yang ooopps—Schutzie baru sadar, Marius tadi tertawa lebar. Dan sangat mungkin, serpihan es beku itu menerobos masuk ke dalam mulutnya. Yay! Makan itu, dear. Schutzie tertawa lepas sambil memegang perutnya. Tergelak. Yeah—kehilangan Black dan ditinggal Timothy, kakaknya—itu semua itu tak lagi menempati ruang utama di benak Schutzie. Kau berhasil Marius, silahkan beri applause meriah untuk bayi ular satu itu yang telah sukses membuat Schutzie tak lagi bersedu sedan meratapi nasibnya. You got it.

You got it you got it
Some kind of magic
Hypnotic hypnotic


–BEEUUGGHH satu lagi bola salju menerjang Marius, kali ini lengkap dengan teriakan khas Schutzie "Yihaa--welcome to the real jungle, little snake--"

--dan selamat datang di duniaku, Marius.

"Hey! Mau adu boneka salju denganku? Pemenangnya--err, boleh minta apa saja--" tantang Schutzie tanpa gentar. Yeah, mereka akan membuat boneka salju masing-masing, lalu saling membantai satu sama lain. Kita lihat--anak itu bisa apa tidak mengalahkan Schutzie. Hoho. Majesty Snow Fairy--begitu julukan Timothy dulu untuk Schutzie. Yeap, dulu--dulu sekali. Schutzie baru merasakan lagi luapan rasa bahagia itu saat ini--bersama Marius.

You got it you got it
Some kind of magic
Hypnotic hypnotic


****

Ayolah—katakan iya dan perang dimulai, Marius.

We've learned to run from anything uncomfortable
We've tied our pain below and no one ever has to know
That inside we're broken


Schutzie sumringah—memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Gadis berusia tiga belas tahun itu tersenyum setengah mengejek, well—bercanda tentu saja, ke arah Marius yang masih berdiri tak jauh darinya. Tersedak bola salju yang dihadiahkan Schutzie untuk junior manisnya itu. Schutzie sibuk kembali membulat-bulatkan salju untuk membuat pondasi boneka saljunya—gadis itu tak menyadari langkah Marius yang mendekat ke arahnya. “Kamu baik-baik saja? Tadi terlihat kau bersin. Berarti kau kedinginan ya?” Schutzie menengadah, dalam keadaan sedang jongkok seperti ini, sosok Marius menjulang jauh lebih tinggi lengkap dengan senyumannya yang uh-oh, innocent? Cute? Nicolas Morcerf pasti akan tertawa laknat melihat moment ajaib ini.

Schutzie bengong.

Yeah, mata pandanya semakin membulat—dan ia tak bisa mengelak ketika Marius mengucapkan kata “….aku pergi dari tempat ini”. Jangan. Schutzie tak ingin melepas sensasi bahagia ini begitu saja. Maka seperti kerbau dicucuk hidungnya, Schutzie menerima sarung tangan miliknya kembali—yang kini disodorkan Marius. So sweet ya Marius ini. Aih, rupanya diam-diam anak itu memperhatikan gerak-gerik Schutzie ya….

Dan pipi Schutzie bersemu merah jambu—

--hanya sebentar.

Ia memalingkan wajah seketika—tak kuasa menatap binar hazel redup dibalik poni yang menjuntai itu. Tahu bahwa ada yang tidak beres pada wajahnya, Schutzie menunduk. Berlama-lama dengan gumpalan saljunya, tanpa melirik Marius sedikitpun. Hey—ini tak boleh terjadi. Anak itu junior—dan Schutzie senior. Apa kata dunia kalau Schutzie sampai jatuh bangun bertekuk lutut di hadapan juniornya? Aih—Nicolas Morcerf pasti menari hula-hula lengkap dengan pom-pom di tangan. Nista.

But—isn’t a forbidden?

I try to patch things up again
To calm my tears and kill these fears
But have I told you, have I?


“Benarkah? Jangan tarik ucapanmu itu.“
Marius bergerak menjauh, membentuk benteng pertahanannya sendiri, mungkin. Schutzie hanya mengamati dari sini—mengangguk singkat. Nyalinya masih ciut untuk menatap lama-lama binar redup milik Marius. Yeah—dia harus fokus pada boneka saljunya. Tak boleh kalah—dan andai gadis itu akhirnya menang, bolehkah meminta satu hal?

Hanya satu—

—please don’t go now

please don’t fade away—


Marius.

Schutzie membentuk boneka saljunya—meraup salju terdekat lalu membentuknya menyerupai bulatan tubuh boneka salju. Terus begitu hingga bonekanya nyaris berbentuk 3 tumpukan bulatan putih. Dan ia menyapu pandangan berkeliling. Mencari adakah ranting patah atau bulatan kecil yang bisa mempermanis boneka saljunya. Sesekali gadis itu tersenyum tipis sambil mengerling ke sebelahnya. Tak jauh dari tempatnya, ada sosok cemerlang yang membiaskan pendar istimewa. Marius ada di sana.

"Hoi--kau sudah siap beluuumm" Schutzie berteriak nyaring. Sentuhan terakhir pada bonekanya berupa syal kuning gading, dan kini ia siap berperang. Gumpalan salju berbentuk bola yang lebih kecil, sudah tersedia banyak sebagai meriam perang salju. Yeah--let's begin the battle.

Now.

"Serbuuuuuu...." Schutzie melempar bola saljunya membabi buta. Menerjang Marius dan bonekanya. Meleset atau tidak? Biarkanlah. Setidaknya ia bisa tersenyum dan menikmati sensasi itu. Meski hanya sebentar--

or forever?

****

Wait, don't go away.
Just not yet.
Cause I thought,
I had it.
But I forget.


Schutzie berkacak pinggang, sambil menelengkan kepalanya ke kiri sedikit. Ia baru saja menghindari serangan kubu lawan dengan cara berdiri kokoh di depan boneka saljunya yang diberi nama Snowpy. Hei—itu tidak curang, kan? Ia dan Marius hanya berperang siapa yang dapat menghancurkan boneka salju milik lawan—tak ada aturan mengikat tentang tata caranya. Wakakaka. Lain kali, sedikit jeniuslah bila menghadapi Schutzie, dear. Dan kini gadis itu mengamati lekat-lekat boneka salju milik Marius yang err—tidak berbentuk sama sekali. Nyaris seperti si kerempeng Filch. Haha. Anak itu tidak berbakat rupanya. Dan wait—pondasinya, pondasi bonekanya kurang mantap. Aih, kalau begitu saja sih, satu kali senggol juga hancur. Blaszt. Tak bersisa. Gadis itu menyunggingkan senyum kemenangan, menghitung dalam hati—mundur mulai dari angka lima. Berjongkok, siapkan amunisi berbentuk bola salju, ambil ancang-ancang lalu PAATTTSS-- kena kau, sweety Marius.

Boneka Marius hancur—yeah, kembali menjadi serpihan es abstrak yang menyatu dengan gundukan salju tempat di mana mereka berpijak sekarang. Schutzie berteriak, lompat sambil meninju udara. Yihaa!!! Dia. Menang. Telak. Dan janji adalah janji. Siapa yang kalah harus bersedia melakukan apapun titah si pemenang kan? Jangan bilang, kau mau berkelit Marius. Schutzie akan melabelimu pecundang, kalau kau kabur detik ini juga.

“Woohooooo!! Aku menang, dear Marius—dan sesuai janji—“ Schutzie kembali melilitkan syal kuning gading di sekitar tengkuknya. Lalu melanjutkan kata-katanya tanpa mengalihkan pandangan sedetikpun. Eye to eye-- “—kau akan mengikuti apapun permintaanku kan?” tanya Schutzie manis dengan tampang polos ala anak kecil yang sedang berkelakuan baik demi mendapatkan barbie impiannya.

“Well—sini, kau!” Schutzie memberikan gestur agar Marius mendekat. Yeah—mereka masih berdiri di kubu masing-masing. Terbentang jarak sekian meter. Enaknya minta apa yaaa~~~

And I won't let you fall away,
From me. You will never fade.
And I won't let you fall away.
From me. You will never fade away from me.


“Gendong aku—sampai ke asrama—” oh Schutzie suka bagian yang ini. Sungguh. Jadi, silahkan dear Marius. Lady Schutzie Serenadett MaCbeth ingin lihat bagaimana reaksimu.


****

Schutzie. Suka. Marius.

Eh—ralat.

Schutzie. Suka. Raut. Wajah. Marius. Yang. Sedang. Panik.

Yeah—membuat jemarinya susah untuk tidak bergerak mengacak rambut lalu mencubit pipi juniornya itu. Gemas. Oh, oke—Schutzie akan melakukannya nanti. Tahan dulu, Marius masih jauh dari jangkauannya. Anak lelaki yang lebih sering menunduk—dan senantiasa mengulaskan senyum tipis itu, masih berusaha meyakinkan diri akan apa yang baru saja ia dengar. Nampaknya shock—tidak menyangka Schutzie akan mengucapkan permintaan seperti itu. Schutzie. Minta. Digendong. Sampai asrama lho ya—bukan kastil. Berani bertaruh, juniornya itu pasti tidak mau. Lihat saja--

“Hmm. Bagaimana ya? Kau tidak berat kan? Lagipula permintaan apa sih ini? Sebenarnya aku ingin menolak sih” Nah—benar kan? Marius tak mengabulkan permintaan Schutzie. Anak itu bahkan belum beranjak sedikitpun dari benteng pertahanannya. Rupanya masih menimbang-nimbang dan sedikit mengulur waktu yang entah sudah berdurasi berapa ratus detik ini. Euh—kau menikmati hari ini, Marius? Semoga. Schutzie sih iya. Gadis itu sejak tadi tak henti mengulum senyum—berusaha menahan tawanya yang kini sudah tergelak tanpa tedeng aling-aling.


“Anak kecil sepertimu mana bisa mengalahkanku—percuma Sussi dear” Timothy berkacak pinggang, dengan binar abu-abu jernih yang berkilat jahil. Sementara di seberang sana, gadis kecil berkuncir kuda, memonyongkan bibirnya dengan kesal. Tidak terima boneka saljunya dihancurkan begitu saja.

“Kau akan kalah, Timothy! Akan kalah! Tunggu saja sampai aku bisa menyihirmu jadi beruang kutub—dan kupastikan, Snowpyku akan berdiri tegak menantang boneka salju jelekmu” Schutzie kecil berbalut mantel tebal merah jambu, ikut berkacak pinggang. Mencibir ke arah kakaknya lalu berlari pulang kembali ke dalam Kasteel MaCbeth. Timothy mengejar dari belakang dengan satu dua langkah lebar—ditangkapnya gadis kecil itu dengan mudahnya.

“Kena kau, penjahat kecil” dan anak lelaki usia tiga belas tahun itu, membopong tubuh adik kecilnya yang meronta hebat minta diturunkan.

“Turunkan aku, TIMOTHY JELEK!!” Schutzie memukul-mukul bahu kakaknya—mencakar dan menggigit apapun yang terjangkau olehnya.


“—As you wish. Kalau kau tidak mau, maka kutinggalkan. Naik ke punggungku—Schutzie” Nyeh? Gantian Schutzie yang panik. Gadis itu tak menyangka, Marius akan mengabulkan permintaan konyolnya tadi—anak itu sudah membungkuk dan memaksa Schutzie naik di punggungnya. Digendong? Sampai asrama? Bisa patah tulang anak orang bila Schutzie nekat melakukannya. Nope.

“Bodoh—aku tidak seri—HWATCCHHIIIIMM” Schutzie berkelit mundur sekaligus bersin pada saat yang bersamaan. Tubuhnya menggigil tiba-tiba, dan kepalanya pening bukan main. “—aku cuma bercan—HWATCHIIIMMM” rasanya bagai ditusuk ribuan jarum, mengingatkan Schutzie akan tragedi jarum berdarah di kelas Transfigurasi tahun pertama dulu. Tubuh gadis itu oleng tiba-tiba dan untung saja kepalanya rebah di pundak Marius.

—sebenarnya yah, sekedar informasi, Schutzie masih ingin menikmati hujan salju di sini. Lapangan Quidditch ini, bersama Marius. Nyaman. Tapi meringkuk di balik selimut tebal ruang bawah tanah—adalah pilihan yang terbaik. Jadi, Schutzie berusaha menegakkan kepalanya yang terkulai—“Aku—HATCHIIIMM—maaf—aku kembali ke—HATCHIIIEEM—kembali ke kastil” sial. Kenapa harus terserang flu sekarang sih? Wajah Schutzie memerah--entah nervous atau pengaruh suhu tubuhnya yang demam tiba-tiba. Frekuensi salju yang turun semakin meningkat. Ritme slow motion tadi, kini berganti sudah.

And do you ever want me, do you ever need me?
I know you left before goodbye
And it's okay, there's always another day
And anytime you want me, anytime you see me
I don't think you meant to say goodbye



****


Sudah lama sekali rasanya Schutzie berbaring di atas sofa plastik empuk dengan upholstery keemasan. Matanya terpejam dan kepalanya pening bukan main. Suhu tubuhnya meningkat drastis melebihi batas normal. Sesekali pelupuk matanya meneteskan cairan bening hangat. Bukan karena kesakitan atau apa—tapi memang begitulah tipikal Schutzie bila sedang tidak enak badan—cengeng. Setengah mati gadis kecil berpipi tembam itu berusaha sembunyi dari kakaknya, Timothy. Makhluk menyebalkan sedunia yang merupakan pengolok-olok paling keji. Tidak ada image seorang kakak yang baik melekat pada sosok Timothy—menurut Schutzie.

Dan tiba-tiba pintu berbahan kayu ek berpelitur dengan ornamen Pegasus di bagian gagangnya itu, mengayun terbuka—menimbulkan bunyi derit pelan. Remaja laki-laki berambut coklat berantakan, masuk pelan-pelan. Berusaha tak menimbulkan bunyi sedikitpun. Lalu menyapu pandangan berkeliling ruangan luas beraksen Eropa klasik itu—dan terpancang pada satu titik. Adiknya. Adiknya sakit—bagaimanapun. Betapapun hiperaktif, lincah dan menyebalkannya bocah satu itu—tetap saja dalam keadaan sakit begini, Timothy tak tega menjahilinya.

“Bodoh! Sudah kubilang—jangan main di luar” Timothy lebih mirip bergumam alih-alih menasehati Schutzie. Dengan santainya, remaja dua belas tahun itu menghempaskan tubuhnya di salah satu lengan sofa—berdecak tak sabar setelah itu. “Anak manja sepertimu—harusnya main di dalam saja. Tak usah sok pamer berselancar salju—mengaku kalah saja apa susahnya sih, Sussi dear” hell. Lihat kan? Timothy itu memang jahannam. Terkutuk. Schutzie berusaha buta tuli atas apa yang baru saja ditangkap oleh inderanya. Semakin meringkuk dan bibirnya bergemelutuk kedinginan. Demi jenggot Merlin terkepang enam—ingin sekali Schutzie menimpuk kepala Timothy dengan stick golf andalannya. Five star—produksi Honma. Tunggu saja, dear. Akan ada saatnya pembalasan itu.

Timothy bergerak—beringsut meraih selimut tebal berkelim hijau toska yang terlipat rapi di atas ranjang besar milik Schutzie. Tanpa banyak komentar, diselubungkannya selimut itu menutupi tubuh adik kecilnya—menyebalkan. Kenapa juga Mom dan Dad harus tinggal jauh di Indonesia sana sih? Dan si Nenek Tua itu—mana dia? Kenapa tak ada yang menjaga bandit kecil ini? Mana Esmeralda? Lolita? Deborah? Pembantu macam apa mereka bertiga itu. Hati Timothy tergerak untuk mengusap rambut hitam adik kecilnya--

--dan Schutzie tertegun. Tidak menyangka kakaknya akan bertindak seheroik itu. Hell. Yeah—itu membuktikan, bahwa anak berambut coklat yang baru saja menyelimutinya itu, adalah kakaknya. Saudara. Sekandung. Bukan sekedar bayi nyasar yang mengaku bermarga Macbeth. Dan tangan gadis itu bergerak pelan—meraih jari besar Timothy yang masih bercokol di atas kepalanya. “Kau mau menjambak rambutku yah?” bingo! Jangan pikir, Schutzie gampang terjebak tipu muslihatmu wahai Timothy. Mawas diri—Schutzie kecil terlalu sering menjadi korban kejahilan kakaknya, jangan salahkan.


Euh—dingin... tapi hangat?

Sekian detik berlalu dalam keheningan. Schutzie baru saja sadar apa yang terjadi—matanya mengerjap berusaha memfokuskan pandangan. Semuanya putih, dan tetap dingin. Butiran salju yang jatuh menimbulkan sensasi dingin yang berbeda bagi tubuh tidak sehatnya. Sekali lagi—sebenarnya dingin, tapi kok hangat? Dan gadis itu tahu—seseorang baru saja membuatnya tetap hangat. Marius. Syal hijau-perak yang tadinya menyelimuti tengkuk anak laki-laki itu kini tak ada—Schutzie bisa melihat punggung dengan jelas dan err—menghirup aroma berbeda? Wangi parfume siapa sih ini?

“—aku sangat menikmati hari ini.”

Demi Merlin berkuteks merah jambu--apa sih yang dipikirkan anak tolol ini? Mau patah tulang? Encok? Reumatik?

“Bertahanlah sampai kastil.”

Wotdehel—apa yang eh—

Nope.

Schutzie berusaha melepaskan diri dari gendongan juniornya itu. Hell. Kepalanya masih pusing—tapi ia tak tega melihat langkah Marius yang tertatih membopong tubuhnya. Sungguh. Anak itu pasti susah payah membawa beban seberat 45 kilogram di punggungnya. Jadi, harus bagaimana?

“STOP!” Schutzie berteriak tiba-tiba, meski kedengarannya tak beda jauh dengan intonasi biasa. Untuk bersuara saja, rasanya susah sekali. Pusing. Tapi gadis itu tetap bersikeras untuk turun dari punggung Marius. Kakinya hanya melayang sekian sentimeter dari permukaan dan HAP—kini Schutzie kembali menjejak salju. Oleng, tangannya refleks bertumpu di bahu Marius. “Jalan kaki—lebih baik. Bagus untuk kesehatan--” dan senyum manisnya terulas lagi—meski nampak lemah, imbas dari raut wajahnya yang pucat. Refleks menarik tangan Marius—lalu mengenggamnya—

When this memory fades
I'm gonna make sure it's replaced
With chances taken
Hope embraced
and have I told you?


“Ayo kembali ke sarang kita—bayi ular” menggenggamnya erat—berat untuk melepasnya. Lalu melangkah bersama-sama menerobos hujan salju yang semakin lebat saja. Rasanya dingin—tapi kok hangat? Schutzie tersenyum—manis. Yeah—baru pertama kali merasakan yang seperti ini. Bahkan Regulus pun tak seindah ini nuansanya.

I got a lot to say to you
Yeah, I got a lot to say
I noticed your eyes are always glued to me
Keeping them here
And it makes no sense at all



****






10.23