image
Schutzie's Blog
image image image image
Minggu, 17 Agustus 2008

Melangkah sendiri di bawah remangnya cahaya malam, Schutzie merapatkan jubahnya. Masih tidak percaya sebenarnya, bahwa ia sudah resmi menjadi salah satu murid Hogwarts. Satu hal yang sejak dahulu kala tak pernah diyakini oleh berbagai pihak dan kini menjadi semacam bumerang. Terutama bagi Timothy Axeladet. Kakak ‘tercintanya’ yang senantiasa bercerita pongah tentang bagaimana sistem belajar di Durmstang jauh lebih masuk akal ketimbang pemahaman teori yang disuguhkan Hogwarts. Well – memang begitukah? Jangan tanya, idiot! Schutzie tak tahu.

Seharusnya Schutzie beristirahat di kamarnya sekarang. Itu lebih baik, demi menjaga kestabilan metabolisme tubuhnya yang sangat rapuh akhir-akhir ini. Sedemikian banyak kejadian doen schrikken – diluar dugaan yang sangat berpeluang menyebabkan hipertensi dini bagi Schutzie. Tapi Schutzie masih enggan berbaur dengan teman-teman barunya. Butuh waktu untuk memaksimalkan fungsi otaknya kembali.

Tak sadar ke mana kakinya melangkah, akhirnya Schutzie berhenti. Kembali takjub dan tenggelam oleh belenggu kegelapan malam yang selalu saja mampu membuatnya merasakan hangatnya rumah. Homesick yang menjalari sel-sel tubuhnya pelan-pelan, kini mulai menguap entah ke mana. Satu hal yang tak berubah, langit kala malam --dimanapun kau berada-- akan tetap gelap lengkap dengan sejuta pesona mistisnya.

Rupanya Schutzie berada di dekat danau hitam –ingat Black lagi— dan ternyata ia tak sendirian. Tepat beberapa meter di depannya, nampak siluet yang sangat unpredictable. Seorang lelaki berambut lurus dan berponi sedang bermain dengan seeekor kucing lucu. Itu akan menjadi hal yang sangat biasa anda saja Schutzie tak kenal sosok lelaki itu. Seraya memicingkan mata, Schutzie tanpa sadar melangkah mendekati sosok itu. Dari pembicaraan di kompartemen 7 yang tercuri dengar olehnya -- Schutzie yakin. Itu Amakusa. Gotcha! Schutzie perlu waktu untuk percaya fakta bahwa sosok dingin nan ‘sopan’ yang sempat memberinya sorotan mata tajam tanpa ampun di kompartemen tadi sedang bermain-main dengan kucing. Sedikit masuk akal, bila itu tipikal kucing garong berwarna hitam yang identik dengan sosok seperti Amakusa. Tapi ini, lihatlah betapa lucu dan cantiknya kucing itu.

Andai saja Schutzie belum ‘kenal’ seperti apa Amakusa, ia pasti sudah datang menghampiri dan berceloteh ini itu. But, NO thank you. Ia tak ingin tampak bodoh seperti anak perempuan tambun yang sejak tadi tak diacuhkan oleh Amakusa.

Enjoy it, babe.

Schutzie menahan diri untuk tidak ikut membelai kucing itu, susah memang. Karena ia teringat Frappio, kucing persianya yang meregang nyawa karena improvisasi mantra yang dilontarkan Timothy.

Shit --

Hoi, Amakusa! Aku-sangat-ingin-menyentuh-kucingmu!

Sekali lagi --andai saja-- Schutzie diberi segenap kekuatan dan limpahan rahmat agar mampu melafalkan deretan kata-kata itu.

It’s hard to ignore. Really...


***

Amakusa menoleh terlalu tiba-tiba hingga Schutzie tak bisa menghindari sorot mata tajam milik lelaki Asia itu. Dan detik berikutnya, Amakusa melancarkan sapaan pedasnya seperti biasa yang sangat ‘Amakusa’ sekali. Ini di luar prediksi Schutzie. Kenapa tidak 'menyapa' anak lain saja sih, Amakusa itu? Bukankah lebih rasional bila seorang Amakusa diam saja --tak perduli-- dan Schutzie juga akan segera meninggalkan tempat itu dengan damai? Tapi okelah. Amakusa yang mulai, maka Schutzie tak punya pilihan selain meladeni. Sekali lagi, ini tidak wajar sebenarnya. Sangat.

“Masih punya sedikit gairah berinteraksi rupanya, Mister? Apapun yang ingin aku lakukan, bukan urusanmu! Kalaupun iya, aku yakin cumi-cumi lebih baik daripada Anda, Mister err – Amakusa, right?,” balas Schutzie dengan nada datar. Tanpa menatap Amakusa, pandangannya lurus ke titik paling jauh di seberang danau. Berusaha menunjukkan mimik tidak tertarik sama sekali padahal nalurinya sudah berontak ingin membelai kucing cantik milik Amakusa yang sedikit lagi bisa dijangkaunya. Entah mukjizat darimana yang bisa membuatnya berani membalas ‘sapaan hangat’ Amakusa tadi. Oh my God! Schutzie sangat yakin sepertinya akan ada pertumpahan darah sebentar lagi. Untuk orang seperti Amakusa, susah untuk tidak memutilasi tipikal gadis kecil seperti Schutzie yang --mengakulah-- sukses membuat darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

Tapi melangkah pergi juga bukan pilihan yang baik. Tentu saja itu akan membuat Amakusa berada di atas angin. Menang telak tanpa perlawanan. No way! Schutzie tak mau dianggap gadis cemen yang hanya mampu melafalkan deretan stuff-stuff branded atau berbagai macam alat kosmetik. NO MORE, dude. Karena asal kau tahu saja, saat ini Schutzie sedang dalam tahap metamorphoself dimana ia bertekad bulat untuk mengubah stempel ‘Miss aanhankelijk’ menjadi ‘Super duper zelfstandig zijn Miss’. Tak tahu artinya? Enyah saja kau dari galaksi Bima Sakti ini.

Sadarkah kau Amakusa? Tingkahmu sangat membantu tahap metamorphoself ini.

Percayalah.

***

What the hell, yeah?

Apa-kau-bilang-tadi??

Winter-ball?

Dengan-mu?

Setelah semua yang kau lakukan padaku, eh?

Schutzie tertawa. Bukan tersenyum malu-malu tapi mau a la putri keraton. Tapi tertawa dengan mulut terbuka lebar dan sangat mampu memenangkan audisi ‘siapa paling mirip Troll kesurupan’ di seantero Hogwarts. Huahahaha. Oke. Stop it! Ingat pendidikan manner, Schutzie. So, perlukah Schutzie berteriak pada semesta bahwa ini sangat tidak wajar, Amakusa idiot? Atau lelaki di depannya ini memang sudah kehabisan stok cercaan sampai-sampai sedemikian begonya melontarkan candaan yang bisa saja menjadi bumerang, eh?

“…….kau yakin aku tetap tak lebih baik dari cumi-cumi kalau aku mengajakmu ke Winter Ball?"

Shit. Kenapa bayangan Black semata yang berkelebat di benaknya? Senyumnya. Tatapannya. Suaranya. Auranya. Pesonanya. Schutzie memejamkan matanya dan mulai berkomat-kamit layaknya dukun santet siap pelet. Wahai Mister yang berada di hadapanku saat ini, segeralah berubah menjadi sosok Black. Regulus tentu saja. Bukan Sirius.

Tadaaaa!!!

Bodoh. Idiot. Autis. Black sudah punya err – Skater (board) kalau tidak salah? Atau McFadden? Atau, senior Shaula di kompartemen tadi? Perih sekali lagi menghantam dada Schutzie. Tepat dimana seharusnya jantungnya berada. Okelah, bila sakit seperti ini rasanya, mungkin bermain-main akan sedikit lebih baik.

Ayolah, Schutzie tahu Amakusa bercanda. Tapi ‘menggila’ sedikit tak berdosa kan? Lagipula, Schutzie juga penasaran bagaimana reaksi gadis Asia yang sejak tadi memandang penuh harap ke arah Amakusa dan mengajak Amakusa menjadi pasangan dansanya. Gadis idiot! Tidakkah kau lihat bahwa lelaki yang kau puja itu tak tertarik dengan tatapan sendu tipikal pengemis-minta-sumbangan itu? Tentu masih banyak lelaki lain yang ‘pantas’ bersanding denganmu, Nona. Andai saja kau tahu isi otak Amakusa tak lebih hanya bagaimana-caranya-mencemooh-dengan-sopan. What a pitty you are, Miss!

“Well – aku tak tahu bila belum mencoba. Berani membuktikannya?,” deretan kata-kata barusan membuat Schutzie nyaris muntah. Hello? Bagaimana bisa ia menjawabnya dengan sedemikian ‘tidak berkualitas’? Masih ada banyak jawaban yang jauh rasional ketimbang kata-kata ‘kampungan’ tadi. God! Tolong. Otak Schutzie mampet. Totally macet. Terserahlah apa pendapat Amakusa tentangnya. Mau dibilang bermulut comel, silahkan. Menganggap Schutzie gadis nista penggoda om-om juga tak masalah.

Yang jelas, hasrat itu masih untuknya. Black seorang.

***

Viola! Benar dugaan Schutzie, gadis Asia yang begitu memuja Amakusa itu, tampak terguncang mendengar pernyataan Schutzie barusan. Cemburu, eh Miss? Tenang saja, Schutzie tidak akan pernah terpesona pada Amakusa. Well – kecuali bila Schutzie sudah dibawa pengaruh mantra apa namanya, kemudian matahari terbit dari selatan dan bintang-bintang berwarna merah jambu. The point – never. Forever. Amakusa? Gak lah yauw. Dan Schutzie juga sudah menebak bahwa lelaki yang berdiri di depannya ini memang seorang pengecut cap kaleng tikus. Tak bernyali dibandingkan dengan cumi-cumi, eh Mister Amakusa?

"Kau tahu persis aku tak serius, Miss?"

Schutzie tak merasa perlu menjawab pertanyaan retoris itu. Tentu saja idiot! Kau pikir Schutzie juga serius? Tunggulah sampai Slytherin berganti lambang jadi boneka Barbie baru seorang Schutzie menerima ajakan ‘absurd’ itu. Dan bila lelaki itu pikir bahwa seorang Schutzie kecewa karena ajakan tadi hanya sebuah lelucon basi, maka dia salah total. Karena seperti yang seluruh dunia tahu, kan? Schutzie hanya akan sujud syukur dan mencium lambang Salazar Slytherinnya dengan khidmat bila REGULUS BLACK yang ada di hadapannya saat ini. Bukan Amakusa.

Selesai. Minum susu – cuci kaki – gosok gigi – berdoa – tidur. Schutzie baru saja hendak melangkah pergi dan berniat melakukan ritualnya itu ketika ekor tiba-tiba matanya menangkap sosok seorang gadis Asia --lagi-- datang mengendap-endap dan memberi tanda Ssst agar Schutzie tak buka mulut. Dan detik berikutnya gadis Asia itu menutup mata Amakusa. Persis seperti apa yang kerap Schutzie lakukan pada Timothy. Fine. Rupanya semua orang nyaris bersekongko untuk membuat Schutzie semakin homesick dan tak betah berada di Hogwarts.

Amakusa berbalik. Schutzie yakin Mister Meong itu pasti mencak-mencak marah dan mengobral sumpah serapahnya. Tapi. Keliru. Amakusa menatap gadis itu dengan tatapan berbeda. Schutzie bisa melihat ada satu hal yang rumit di mata Amakusa. Entah apa. Bukan urusan Schutzie dan Schutzie tak mau tahu. Come on, sejak kapan seorang Schutzie peduli pada Senior Mister Amakusa yang terhormat? Tanpa menoleh lagi, Schutzie meninggalkan orang-orang itu. Tak perduli pada sebuah tongkat yang melayang di atas kepalanya. Entah mengarah ke mana. Itu tak penting.

Sekali lagi,

Selesai. Minum susu – cuci kaki – gosok gigi – berdoa – tidur

***

00.05