image
Schutzie's Blog
image image image image
Selasa, 28 Desember 2010

Muhamad Big Raditya (09220281)



Impact of the study of the Italian language in tourism Dampak studi bahasa Italia di bidang pariwisata

Summary Ringkasan

With new the exigency and challenges that it confronts our country was decided to distribute the discipline of Italian Language to the workers of the tourism who already dominate one first foreign language. Dengan baru urgensi dan tantangan yang menghadapi negara kita telah memutuskan untuk mendistribusikan disiplin Bahasa Italia kepada para pekerja pariwisata yang sudah mendominasi satu bahasa asing pertama. Reason why in this work we set out to value our scientific project: Design of the program of the Italian subject of for the workers of Tourism and the objective of the same consists of showing the possible social impacts of this program, direct as as much indirect. Alasan mengapa dalam karya ini kita berangkat untuk nilai proyek ilmiah kita: Desain program subjek Italia bagi pekerja Pariwisata dan tujuan yang sama terdiri dari menunjukkan dampak sosial yang mungkin timbul dari program ini, langsung sebagai sebanyak tidak langsung .

Also mention in the work to the difficulties is made that we confronted in the implementation of this program, which they greatly affect the good development of the same. Juga menyebutkan dalam pekerjaan untuk kesulitan yang dibuat bahwa kita dihadapkan dalam pelaksanaan program ini, yang mereka sangat mempengaruhi perkembangan baik yang sama.

Development Pembangunan

At present, the relation between science and technology are expressed more and more with an interdependence degree, that is to say, every time it must plus one the other. Saat ini, hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi disajikan lebih banyak dan lebih dengan derajat saling ketergantungan, artinya, setiap kali harus ditambah satu yang lain. Thus the technical needs influence in the development of the scientific knowledge, as the own development of the scientific knowledge conditions forms of instrumental action that cause the appearance of the technology. Dengan demikian kebutuhan teknis pengaruh dalam pengembangan pengetahuan ilmiah, sebagai pengembangan sendiri dari bentuk-bentuk pengetahuan kondisi ilmiah tindakan instrumental yang menyebabkan munculnya teknologi.

The formation and education in Tourism nowadays raise a greater level of commitment and practical dedication on the part of the pupils and of the centers specialized in its education. Pembentukan dan pendidikan di Pariwisata saat ini meningkatkan tingkat yang lebih besar komitmen dan dedikasi praktis mengenai bagian dari murid dan pusat-pusat khusus dalam pendidikannya. For these reasons a concerted effort is being realized in providing to the students a dynamic formation, modern and technified, that facilitates at the time the development of its profession, abilities and competitions in the best conditions and with the levels of necessary preparation and quality to them. Untuk alasan ini upaya terpadu sedang direalisasikan dalam memberikan kepada siswa formasi dinamis, modern dan technified, yang memfasilitasi pada saat perkembangan, kemampuan profesi dan kompetisi dalam kondisi terbaik dan dengan tingkat persiapan yang diperlukan dan kualitas mereka.

The relation society-science technology. Hubungan masyarakat-ilmu teknologi.

At present, the relation between science and technology are expressed more and more with an interdependence degree, that is to say, every time it must plus one the other. Saat ini, hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi disajikan lebih banyak dan lebih dengan derajat saling ketergantungan, artinya, setiap kali harus ditambah satu yang lain. Thus, the technical needs influence in the development of the scientific knowledge, as well as the own development of the scientific knowledge conditions forms of instrumental action that cause the appearance of the technology. Dengan demikian, pengaruh kebutuhan teknis dalam pengembangan pengetahuan ilmiah, serta pengembangan sendiri dari bentuk-bentuk pengetahuan kondisi ilmiah tindakan instrumental yang menyebabkan munculnya teknologi.

Nuñez Jover (1999) raises that in “the contemporary civilization it is the modern technology that is not more than intensive science”. Nuñez Jover (1999) menimbulkan bahwa dalam "peradaban kontemporer itu adalah teknologi modern yang tidak lebih dari ilmu pengetahuan intensif". For that reason, the technological development is altering it everything from economic and the politician to the psycho-social thing, from the intimate life of the people to the extension of the life and its limits with the death. Untuk alasan itu, perkembangan teknologi yang mengubah itu semua dari politikus ekonomi dan untuk hal psiko-sosial, dari kehidupan intim masyarakat untuk perpanjangan hidup dan batas-batasnya dengan kematian. For that reason science and the technology are due to analyze from one more a perspective humanist than concentrates in the man and his values to thus include to the man and their spiritual life and to put science and the technology to the service of the society with the purpose of to solve the problems that appear to him in this last one. Untuk itu alasan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah karena menganalisis dari satu perspektif seorang humanis daripada berkonsentrasi pada manusia dan nilai-nilai untuk demikian termasuk untuk orang itu dan kehidupan rohani mereka dan menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pelayanan masyarakat dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang muncul kepadanya dalam hal ini yang terakhir.

The relation society-science/technology-teaching/formation. The society-science/technology-teaching/formation hubungan.

The society demands more and more withdrawn with greater quality and the school plays the fundamental role in the formation of that student, since it is in the school where, through the education, it occurs to the unit between science and technology and where the formation of a professional with technological slight knowledge can be obtained, with a scientific vision of the world to face his context. Masyarakat menuntut lebih banyak dan lebih ditarik dengan kualitas yang lebih besar dan sekolah memainkan peran mendasar dalam pembentukan siswa itu, karena di sekolah di mana, melalui pendidikan, hal itu terjadi untuk unit antara ilmu pengetahuan dan teknologi dan di mana pembentukan seorang profesional dengan pengetahuan sedikit teknologi dapat diperoleh, dengan visi ilmiah dunia untuk wajah konteksnya.

In order to obtain the formation of the professional, the Pedagogy is “science in charge of the direction of the educational-educative process that must divide of a process of planning and organization, playing these functions a significant paper, which will have to take control with a scientific character and a fort pedagogical sustenance that allows to develop by that route the execution and control of the same”. Untuk mendapatkan pembentukan profesional, Pedagogi adalah "ilmu yang bertanggung jawab atas arah proses pendidikan-mendidik yang harus membagi proses perencanaan dan organisasi, bermain ini fungsi kertas signifikan, yang akan harus mengambil kendali dengan karakter ilmiah dan pedagogis benteng rezeki yang memungkinkan untuk dikembangkan oleh rute yang pelaksanaan dan kontrol dari "yang sama. (1998: 26). (1998: 26). “The planning of that process corresponds with the target position-finding and content; the organization, with the precision of the possible forms, means and methods to use and the regulation (direction), with the practical execution of the process.” (1999: 43). "Perencanaan proses yang sesuai dengan target posisi pencarian dan konten, organisasi, dengan ketepatan dari kemungkinan bentuk, cara dan metode untuk menggunakan dan peraturan (arah), dengan pelaksanaan praktis dari proses." (1999 : 43). In addition, the Pedagogy has been seen in the necessity to investigate and to look for of new knowledge that allow to perfect and to improve that formation to satisfy the social demands, but she by itself cannot obtain the formation of the professional by the complexity that this process presents/displays, for which must help itself of other sciences that are put to their service, such as Educative Psychology, the sociology of the education, as well as science in particular as in our case, the Linguistic one. Selain itu, Pedagogi telah terlihat dalam pentingnya untuk menyelidiki dan untuk mencari pengetahuan baru yang memungkinkan untuk menyempurnakan dan meningkatkan bahwa pembentukan untuk memenuhi tuntutan sosial, tapi dia sendiri tidak dapat memperoleh pembentukan profesional dengan kompleksitas yang proses ini menyajikan / menampilkan, yang harus membantu dirinya dari ilmu-ilmu lain yang diletakkan untuk pelayanan mereka, seperti Edukatif Psikologi, sosiologi pendidikan, serta ilmu pengetahuan khususnya dalam kasus kami, Linguistik satu.

Thus, Educative Psychology offers the psychological theory of the learning that explains the mechanisms of how the student learns, and in our investigation, she is used in historical-cultural approach of LS Vigotsky, where the center of analysis of the historical-cultural theory, constitutes the origin and development of the psychic functions superiors, being understood like “all conscious psicointelectuales processes” (1987: 23) that has a social origin since “the human activity passes in social means in active interaction with other people through varied forms of collaboration and communication” (1996: 50). Dengan demikian, Edukatif Psikologi menawarkan teori psikologis dari pembelajaran yang menjelaskan mekanisme bagaimana siswa belajar, dan dalam penyelidikan kami, ia digunakan dalam pendekatan historis-budaya LS Vigotsky, di mana pusat analisis teori historis-budaya, merupakan asal-usul dan perkembangan fungsi psikis atasan, dipahami seperti "semua proses psicointelectuales sadar" (1987: 23) yang memiliki asal-usul sosial karena "aktivitas manusia lewat di sarana sosial dalam interaksi aktif dengan orang lain melalui berbagai bentuk kerja sama dan komunikasi "(1996: 50).

On the other hand, the Sociology of the Education, “that explains from its theoretical foundations the regularities of the operation and development of the education like social function” (2002: 30), offer the sociological foundations of the curricular design since the university like social institution permanently is related to the society that gives rise to him and to that it serves to assure the formation professionals who respond this one. Di sisi lain, Sosiologi Pendidikan, "yang menjelaskan dari dasar teoretis keteraturan operasi dan pengembangan pendidikan seperti fungsi sosial" (2002: 30), menawarkan landasan sosiologis dari desain kurikuler sejak universitas seperti lembaga sosial permanen berkaitan dengan masyarakat yang menimbulkan kepadanya dan untuk yang berfungsi untuk menjamin profesional formasi yang merespon satu ini.

In addition, the sociology of the Education also provides psychological foundations to execute the educational-educative process from the study and analysis of the interpersonal relations that allow to impel and to promote the learning. Selain itu, sosiologi Pendidikan juga memberikan fondasi psikologis untuk melaksanakan proses pendidikan-edukatif dari studi dan analisis hubungan interpersonal yang memungkinkan untuk mendorong dan meningkatkan pembelajaran. Also the psychology of the Education considers the informal paper of the family, community, institutions, organizations and associations, groups and massive means of information at the time of considering the formation of the student of integral form. Juga psikologi Pendidikan menganggap kertas informal, masyarakat keluarga, institusi, organisasi dan asosiasi, kelompok dan berarti besar informasi pada saat mempertimbangkan pembentukan siswa bentuk integral.

The then education is conceived like “the process of socialization of the individual, this is in the appropriation by the subject of the valid social contents and its objectivisation, expressed in forms of conducts accepted for the society. Pendidikan kemudian disusun seperti "proses sosialisasi individu, ini adalah penggunaan oleh subyek isi sosial valid dan objectivisation nya, disajikan dalam bentuk melakukan diterima untuk masyarakat. Parallely to this socialization the individualization of the subject is realized, inasmuch as the objectivisation of the social contents is a process net individualized of the personal character, in which each subject processes the reality of particular way contributing the results of its own recreation like active being” (2001: 27). Paralel ini sosialisasi individualisasi subjek tersebut direalisasikan, lantaran sebagai objectivisation isi sosial adalah proses bersih individual dari karakter pribadi, di mana setiap subyek proses realitas cara tertentu memberikan kontribusi hasil rekreasi sendiri seperti aktif, "(2001: 27).

On the other hand, the linguistic one as science studies the communication process that “is a form of active relation between the man and means and is a process in which the man uses to the language with the purpose of to pass on and to assimilate historical-cultural experience” (1981: 161), and offers the linguistic foundations that constitute linguistic theories that they explain the logic of the communication process. Di sisi lain, satu bahasa sebagai studi ilmu proses komunikasi yang "adalah suatu bentuk hubungan aktif antara manusia dan sarana dan merupakan proses di mana manusia menggunakan ke bahasa dengan tujuan untuk menyampaikan dan untuk mengasimilasi sejarah budaya pengalaman "(1981: 161), dan menawarkan landasan linguistik yang merupakan teori-teori linguistik yang mereka menjelaskan logika dari proses komunikasi.

Within the linguistic theories that they have pedagogical implications, they are in our investigation the theory of the communicative competition, where the competition is “the ability that the individual requires to use the language appropriately and in any circumstance” (1972: 481), the theory of the acts of the speech, where the acts of the speech are “minimum the basic units or of communication” (1989: 61), and “the theory of the context where the context constitutes a set of parameters based on the logic and the use of the language, that allows to communicate with property and correction” (2002: 23). Dalam teori linguistik bahwa mereka memiliki implikasi pedagogik, mereka berada dalam penyelidikan kami teori kompetisi komunikatif, dimana persaingan adalah "kemampuan bahwa individu membutuhkan untuk menggunakan bahasa yang tepat dan dalam situasi apapun" (1972: 481), yang teori tindakan pidato, di mana tindakan pidato tersebut adalah "minimal unit dasar atau komunikasi" (1989: 61), dan "teori konteks dimana konteks merupakan satu set parameter berdasarkan logika dan penggunaan bahasa, yang memungkinkan untuk berkomunikasi dengan properti dan koreksi "(2002: 23). These theories allow to base the educational-educative process very linguistically and to obtain that the students dominate the communication process, that constitutes the governing and true objective of all education of language. Teori-teori ini memungkinkan untuk proses pendidikan dasar-edukatif sangat bahasa dan untuk mendapatkan bahwa siswa mendominasi proses komunikasi, yang merupakan tujuan yang mengatur dan benar dari semua pendidikan bahasa.

This science allows to establish the communicative competition like supreme object of the education of the language, basic the linguistic abilities like communication channels, the comunicatives abilities and functions like immediate objectives and nuclei of the objectives and the subsystems of the language: grammar, lexicon and articulation like means to realize the functions and abilities and to realize basic the linguistic abilities until obtaining the capacity to communicate in a context given through interactive activities. Ilmu ini memungkinkan untuk membangun kompetisi komunikatif seperti obyek tertinggi pendidikan bahasa, dasar linguistik kemampuan seperti saluran komunikasi, kemampuan comunicatives dan fungsi seperti tujuan segera dan inti tujuan dan subsistem bahasa: tata bahasa, leksikon dan artikulasi seperti berarti untuk mewujudkan fungsi dan kemampuan dan untuk mewujudkan dasar kemampuan linguistik sampai memperoleh kemampuan untuk berkomunikasi dalam konteks tertentu melalui kegiatan interaktif.


16.27

Kamis, 08 Januari 2009

Schutzie tak bisa tidur--

Jadi, gadis itu menyibak selimut yang tadi menghangatkannya, lalu keluar dari kelambu putih yang menyelubungi ranjangnya. Berjalan pelan sambil berjingkat-jingkat dan memeluk boneka Hello Kitty kesayangannya. Jangan sampai Olive, dan teman sekamar lainnya ikut terbangun juga. Sleep tight lady snake—Schutzie tersenyum tipis dan melayangkan kiss bye pada teman-temannya. Kemudian mendorong pelan pintu batu kamar anak perempuan. Mawas diri—jangan sampai masih ada prefek du Noir tercinta yang duduk manis di ruang rekreasi. Bisa mati berdiri bangswan pureblood satu itu bila melihat wajah Schutzie sekarang.

Yey! Salahkan Senior Elizabeth Gerardine yang tadi mempoles habis wajah imut Schutzie menjadi sangat buruk rupa. Katanya, agar wajah mulus Schutzie kelak tak dipenuhi bisul, bintil, komedo dan jerawat, harus di beri masker entah-apa-namanya-itu. Berbau aneh. Dan Schutzie muak. Dia harus cepat-cepat cuci muka sekarang, atau mandi sekalian. Dan buang masker aneh itu jauh-jauh. Baunya semakin aneh saja. Gadis itu bergerak pelan menuju pintu batu asrama Slytherin—melangkah santai segera setelah pintu mengayun terbuka meski jantungnya berdegup kencang. Cahaya remang selalu saja membuatnya berpikir—Peeves ada di mana-mana. Schutzie menyembunyikan kepala dan wajah buruk rupanya di balik tudung piyama merah jambu lucunya. Sementara pelukannya pada boneka dan cengkraman mangkuk berisi masker itu, semakin dieratkan.

"Blomfieeeelldddd!!"

“AKU LAPAR, SIAPAPUN, DIAMLAH DAN BIARKAN AKU MEMESAN MAKANANKU.”

“DRAGON—PUNCH!!”


Hell. Schutzie tergoda untuk berhenti melangkah, dan menoleh. Lebih tepatnya, menjulurkan kepalanya ke arah dapur. Tempat dimana sekarang beberapa—wotdehel—ada BANYAK anak. My Lord, kekacauan baru saja terlaksana lagi. Schutzie tersenyum miris. Berjalan pelan tanpa memperdulikan kekacauan sekitar. Mata hitamnya terpancang hanya pada satu sosok, Nona Bloomfield yang manis. Bocah tengik berambut hitam—yang ternyata cukup menyita perhatian Marius. Well—something like jeleously—am I wrong?

Just shut up your dirty mouth and let's see--

--CROOOT

“Ini bagus dear, untuk mencerahkan wajahmu yang selalu sendu itu--” enjoy it, Nona Bloomfield. Tenang saja—tak ada zat merkurinya kok. Schutzie hanya menyalurkan emosinya pada orang yang tepat. Membuat gadis itu tampak seperti patung lilin Madam Thousand yang meleleh. Wajah Bloomfield berlumuran masker putih berbau tidak-enak. Dan sasaran empuk lainnya, berdiri tak jauh dari Schutzie—sangat mencolok di tengah para makhluk luar biasa yang sedang bersenang-senang di dapur.

Rambut pirang menyebalkan seperti sepupu Morinaga jahannam—dengan bando kelinci yang menggemaskan. Hey, Schutzie cinta bandonya. “Ah ya—kau juga harus pakai ini, dear. Alami loh--” Schutzie membasuh wajah menjijikkan di hadapannya, dengan sangat telaten. Masker putih berbau-tak-sedap itu kini menutupi wajah si anak pirang berbando kelinci.

"Ada yang mau lagi?" tanya Schutzie polos, sambil menjunjung tinggi mangkuk berisi masker putih yang tinggal separoh itu. Sedikit memaksa—dan sekali lagi, MaCbeth tak pernah meminta. Itu perintah—Nona Manis.


***

Lord Salazar akan bangkit dari kubur—dan menangis nista sambil mengais tanah kuburannya sendiri. Hell. Ada yang korslet dengan topi seleksi sekarang. Terlalu banyak ular berbisa di tempat ini—Schutzie yakin. Satu, dua ck tiga—err oke, setidaknya ada tiga ditambah satu, total berapa? Bodoh-- ada empat Slytherin yang Schutzie kenal. Power Rangers gadungan musim panas lalu yang menyebabkan nilai Slytherin merosot total. Antek-antek si kriting menyebalkan, Nicolas 'dodol' Morcerf. Belum puas bermain dengan para bayi musang yah, anak manis—titisan iblis? Oke, pernah dengar statement bahwa jika ular berkumpul bersama di suatu tempat adalah pertanda hal buruk akan menimpamu? Hoho. Siapapun Gryffindor atau Hufflepuff bahkan Ravenclaw disini, sebaiknya bergegaslah angkat kaki. Hanya saran, tentu. Terserah kau mau percaya atau tidak.

"Kau tahu? Aku biasa memakai masker alpukat. Bagaimana kalau kulitku yang selembut pantat bayi ini berjerawat? Hwahwa.” Schutzie menurunkan tangannya yang sejak tadi terjulur ke udara. Mengamati lekat-lekat si pirang norak berbando kelinci itu. Hey—ada yang tidak beres—suaranya aneh—dan wajahnya? Err—sepertinya tidak proposrsional untuk ukuran seorang gadis. Schutzie memicingkan mata—mengamati pirang norak itu lekat-lekat, dan ber ooh-- pelan saat si pirang mengecup pipi junior Slytherin perempuan yang sempat pingsan beberapa bulan lalu—siapa namanya, err—Dulce—Duke—Dusty, eh? Oh whatsoever.

Ini semakin tidak beres.

Untung saja Tristain datang di waktu yang tepat dan mengalihkan perhatian Schutzie dari tontonan tak layak konsumsi itu. Nista. Wanita mencium wanita? Hell. Seperti tak ada saja makhluk berjenis kelamin pria di ruangan ini. Schutzie memandang berkeliling—suasana dapur sangat 'manis' sekali malam ini. Sayang untuk dilewatkan begitu saja—dan Schutzie tersenyum polos ketika Tristain berbaik hati mau melemparkan pudingnya untuk siapa saja yang Schutzie tunjuk malam ini. Well—mari kita lihat. Junior ada di mana-mana, yang senior? Aih, hanya segelintir saja dan umumnya Slytherin. Nope. Schutzie tak tega menyerang kubu sendiri—tapi wait, sepertinya ada yang masih santai-santai saja di ujung sana. Ck ck ck—Schutzie berdecak sebentar, lalu berbisik pelan di telinga Tristain. Detik berikutnya—puding di tangan Tristain melayang lurus ke arah anak lelaki berpiyama hitam dengan tampang dingin yang mengingatkan Schutzie pada Senior Amakusa—jengah. Yeah. Entahlah, Schutzie tiba-tiba enggan saja melihat segala sesuatu yang berwana hitam. Black. Itu harus dibuang jauh-jauh dari memori otaknya. Blacklist.

"Taste lovely?"

Demi Merlin yang bergoyang hula-hula, Schutzie menggeram marah ketika tiba-tiba saja sensasi basah mengalir di sela-sela rambut dan tengkuknya. Jangan lupa, ini bau. Menjijikkan. Tak perlu menebak siapa pelakunya—dipastikan, si Bloomfield sialan itu cari gara-gara. Well—as you wish, Little Missy. Schutzie berbalik, mengulaskan senyum malaikat pada si bocah. Menuangkan seluruh cairan lengket bertekstur kasar yang ada di dalam mangkuknya tepat di atas rambut Bloomfield. “Dijamin—rambut hitam milikmu itu akan bercabang, kemerahan, patah-patah dan oh jangan lupa baunya, sweety. Tidak akan hilang meski kau mandi kembang tujuh hari tujuh malam, trust me!” Schutzie mendesis sadis, masih tetap tersenyum. Menikmati sosok Bloomfield yang bermandikan masker campuran sari fosil karang laut bercampur daging ubur-ubur. Yeah—kata Senior Gerardine sih begitu.

Selanjutnya Schutzie bergerak perlahan ke arah meja dapur, meraih segelas air lalu mengguyur kepalanya sendiri—beberapa kali. Setidaknya, tubuhnya sekarang tak nampak semenjijikkan tadi. Meski konsekuensinya Schutzie harus basah kuyup bagai korban badai Tsunami. Schutzie berbalik, hendak kembali ke asrama saja, tadinya. Sebelum indera penciumannya menangkap wangi khas. Wangi. Leci. Lipgloss lecinya tepatnya, yang raib entah kemana seusai makan siang tadi. Hell. Pelakunya ada di antara sekian anak abnormal di dapur ini? Siapapun. Dipastikan. Hidupnya. Tak. Akan. Tenang. Janji. Schutzie menoleh, baunya semakin jelas tercium dan kristal hitam beningnya terpancang pada sosok pirang menyebalkan yang berbando kelinci tadi. Sambil berjalan lurus ke arah si pirang yang kini berdiri di samping Dulce-Dusty-Duke entahlah, gadis itu bertanya lirih sambil menelengkan kepala. Mencermati wajah abnormal di depannya. “Hei—kau Slytherin bukan?” Schutzie menekuk lutut sedikit, agar tinggi mereka sejajar. Lalu mendekatkan wajahnya ke arah si pirang. Jelas. Baunya tercium tak lagi samar. Schutzie semakin mendekatkan wajahnya. Sangat dekat.

****
Lipglossnya hilang—dan itu satu-satunya aset berharga bagi Schutzie. Tolong bayangkan, mengikuti pelajaran sejarah sihir yang membosankan tanpa semerbak leci yang bisa dijilat kapan saja itu. Mimpi buruk. Ayolah, disini tak ada yang jual lollypop—stock permen honeydukesnya juga sudah habis, bahkan jelly kecoak pun laris diembat Senior Gerardine si gentong berjalan dari Slytherin. Setelah ini, sumpah akan Schutzie kempeskan seniornya yang satu itu. Tapi pertama-tama, mari kita teliti dulu siapa dibalik kedok bitchy bunny di depan ini. Wanginya ituloh~mengundang.

Plakk!

Oh my gosh. Belum juga Schutzie bertindak, bitchy bunny sudah ditampar terlebih dahulu oleh Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Dipastikan atas ulah noraknya tadi, mencium si Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Oh mai, si banci ini pasti akan ditusuk-gigit-tendang oleh siapapun anak laki-laki--teman spesial--yang dekat dengan si Ducke-Dulce-Duse siapalah itu. Bersiaplah dear sweety bunny, hidupmu tak akan lama. Apalagi bila terbukti bahwa banci norak ini menggunakan lipgloss Schutzie? Awawawaw, dipastikan akan terkutuk menjadi kodok bisul tujuh turunan.

Peduli setan pada semua kerusuhan yang terjadi di tempat ini—terserah ada berapa banyak makanan melayang di udara, teriakan norak anak-anak bau kencur yang terlambat cuci kaki dan sikat gigi hingga nyasar ke tempat ini—semuanya--Schutzie tak perduli. Tatapannya hanya terfokus pada satu arah, tajam dan tidak berkedip. Banci pirang norak berbando kelinci di hadapannya ini sangat well--menarik. Bertambah saja pesona banci ini ketika selembar (?) steak melayang dengan manis dan mendarat di kepala si banci. Lengkap dengan semerbang aroma leci yang—wotdehel—astaganagabonarjadidua!! You have stolen my lipgloss, dear. Schutzie semakin memajukan wajahnya mendekati si banci berbando kelinci. Gadis itu membulatkan matanya sambil mengendus-endus seperti anjing pudel yang manis.

“I got—” Schutzie tak bisa melanjutkan jeritannya. Bibirnya terkunci—tak bisa bergerak. Ada sesuatu yang menguncinya—bibir si pirang nista—tepat di bibir Schutzie. Lips to lips. Menempel? Ciuman dong? Hayaaaaaa! Schutzie segera saja mendorong tubuh itu jauh-jauh. Nista. Hueekkk. Schutzie mau muntah—mana ember? Gadis itu shock, membatu tapi herannya, ia tak sadar mengulum bibirnya sendiri. Rasa lecy. Itu lipglossnya. Dan makhluk yang mencuri lipglossnya juga mencuri ciuman pertamanya. Arrgghhh. Mati kau, jahannam.

Schutzie menarik paksa si pirang berbando kelinci dari pelukan muka-belakang dua anak norak yang entah kenapa begitu berminat pada si jahannam satu ini. “Minggir dear, aku punya urusan dengannya!” Schutzie tersenyum sarkastis pada dua bocah yang memeluk si kelinci--yang ough ternyata wanita jejadian--menarik paksa lalu menamparnya denga telak. Di pipi.

“You have stolen my lipgloss—and my first kiss too” Schutzie menjambak rambut bocah tengik di depannya dengan penuh emosi. Schutzie tahu,ia berhadapan dengan siapa. Mallandart, sekutu Nikki. Jadi, dimana Lazarus? Yeah, bocah satu itu pasti juga ada di sini, maka lengkaplah formasi Power Rangers gadungan. “KEMBALIKAN LIPGLOSSKU MALLANDART!!” oke, Schutzie sudah muak—dan pasrahlah Mallandart, Schutzie menjadikanmu pengganti samsak. "Sial--CIUMAN PERTAMAKU JUGA! Kembalikan" gadis itu memukul-mukul Mallandart dengan sangat bernafsunya.

10.30


Lagi.

Tidak seperti biasanya, dimana Schutzie betah berada di tengah hiruk pikuk keramaian—kali ini gadis berdarah Dutch itu memilih terperangkap dalam dunianya sendiri. Menutup mata, hati dan telinganya akan sekitar. Memejamkan mata sejenak dan membiarkan hembusan angin membelai lembut lapisan kulit terluarnya. Untuk yang kesekian kalinya, gadis itu berdiri di tempat ini. Sendirian menantang angin yang berhembus kencang—terkadang diselingi dengan butiran salju putih kecil yang bergerak lambat, jatuh menutupi permukaan tempat dimana gadis itu berpijak. Lapangan Quidditch—menjadi tempat favoritnya sejak kali pertama gadis itu menginjakkan kaki di Hogwarts.

Tepatnya—sejak ia melihat sosok itu terbang mengejar golden snitch bersayap dan menit berikutnya tersenyum lega sambil meninju udara tepat ketika peluit Madam Hooch ditiup—berganti dengan gegap gempita dari kubu Slytherin. Tanda bahwa kemenangan ada dalam genggaman asrama brlambang ular itu. Sensasi itu sudah lama sekali rasanya tak pernah menyergap Schutzie. Bahkan kemenangan telak Slytherin tempo hari, yang menggilas habis Hufflepuff sebanyak 210 angka—tak begitu berarti tanpa senyum Black ditengah deretan para anggota tim Quidditch yang meluncur turun dari sapu masing-masing.

Yeah.

You’ve taken everything I am
Everything I thought I could be
Too fragile, too broken
To stop now…


Schutzie membuka matanya perlahan—berharap saat ia melakukan hal itu, keajaiban kecil terjadi. Sosok itu berkeliaran lagi dengan lincahnya di atas sana, dan Schutzie akan setia mengaguminya dari sini. Selamanya. Tapi langit tetap kelabu—tanpa ada satupun tanda bahwa seseorang baru saja melintas terbang di atas sana. Schutzie tetap sendri.

****


Kepala Schutzie masih ditengadahkan seolah menentang langit. Satu dua kali titik salju turun menerpa kulit putih pucatnya. Tak mengapa—karena tak terasa dingin sama sekali. Ada sesuatu di dalam sana—tersembunyi tepat di mana hati kiranya berada—terasa hangat. Gurat kesedihan di wajah pucat gadis itu, mulai terbias. Senyumnya terulas—meski hanya sedikit. Meski hatinya sakit—tersadar bahwa semua yang dilakukannya selama ini sia-sia. Black tak pernah menganggapnya ada dan memang Schutzie bukan siapa-siapa. Hanya seorang gadis berusia tiga belas tahun yang memuja Black sepenuh hati. Utuh. Penuh. Entah kenapa dan bermula dari mana.

Angin berhembus semakin kencang—dan Schutzie pasrah saja rambut hitamnya tergerai berantakan ditiup angin. Mantel kuning gadingnya yang berbahan tweed—membalut rapat tubuh gadis itu. Berikut topi serta syal berwarna senada yang melingkar di lehernya. Gadis itu tak lagi menengadah—kepalanya ditundukkan. Ujung sepatu boots coklatnya menjadi pusat perhatian kini. Memikirkan kemana lagi kakinya akan melangkah setelah ini—setelah merasa cukup puas sekaligus sia-sia menanti Black di tempat ini.

Tubuh itu sudah akan bergerak ketika tiba-tiba saja Schutzie mendengar gemerisik langkah kaki orang lain. Well—jangan bilang itu Nikki sialan. Habis Schutzie diledek bila memang begitu adanya. Tapi ketika kepala Schutzie ditolehkan, ia mendapati sosok lain—junior sepertinya—berdiri tepat di sampingnya, lebih pendek beberapa inchi dari Schutzie.

“Sendirian, miss? Memikirkan seseorang?” Schutzie mengerjapkan matanya. Berusaha menerka siapa gerangan anak lelaki dengan rambut hitam menjuntai menutupi sebagian wajahnya itu. Hanya binar hazel redup yang bisa ditangkapnya dari sosok itu.

“Well—tadinya iya, aku sendirian. Tapi—” Schutzie membentuk lengkungan di bibirnya, tersenyum manis sebelum melanjutkan kata-kata. “—tapi sekarang tak lagi. Kau di sini kan? menemaniku?” yeah. Siapapun dia, meski Schutzie tak mengenalnya—tapi anak itu cukup membantu saat ini. "Ah ya--aku MaC--err Schutzie. Dan kau?" semoga siapapun anak ini, tak bisa membaca apa yang tersirat dibalik binar gelap bola mata Schutzie. Too fragile.

That I've fallen down and I can't do this alone
Stay with me, this is what I need, please?

****

Bola mata Schutzie masih menatap lekat-lekat anak lelaki di sampingnya itu. Sumpah, Schutzie belum pernah melihatnya sama sekali—tidak mungkin anak itu seangkatan dengan Schutzie. Pasti junior—yeah, pasti. Satu atau dua tahun dibawahnya. Dan asramanya? Slytherin kah? Ah masa bodohlah—dia anak Hufflepuff juga peduli setan. Schutzie tak mau pusing-pusing memikirkannya. Selama anak itu bersikap baik—Schutzie juga akan berlaku sama. Lagipula—well, jujur saja Schutzie memang sedang butuh teman saat ini. Setidaknya untuk berbincang ringan. Mengalihkan perhatiannya yang senantiasa tercurahkan sepenuhnya pada Black. Case closed. Tanpa ada maksud lain—apalagi tebar pesona ke junior loh ya. Haha. Schutzie bukan pedofil. Meski err—Schutzie memang belum memiliki teman istimewa sih sampai saat ini. Semuanya hanya berstatus teman. Biasa. Well—ada beberapa yang memang dekat. Seperti Angela, Daniel, Tristain ....Nikki. Tapi come on, apa menurutmu Nikki bisa diajak berbincang senormal ini? Tidak. Darah Schutzie pasti semakin meletup-letup bila berhadapan dengan anak satu itu. Lalu Angela? Ah, dia semakin jarang saja beredar di mana-mana. Sudah berulng kali Schutzie mondar-mandir di pintu asramanya, namun nihil. Daniel juga begitu. Mulai sibuk mengikuti kemanapun Wina pergi—bisik-bisik anak Hufflepuff sih bilang begitu. Sementara Tristain? Dia punya adik—tentu saja akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan adiknya. Dan Schutzie sadar—mereka punya dunia sendiri.

“Schneider. Marius Schneider.” anak itu memperkenalkan diri pada Schutzie, menyebutkan kata yang kedengarannya seperti sneder-skender-apalah itu. Lebih baik Schutzie memanggilnya dengan nama depan saja. Dan beruntunglah—karena sepertinya Marius juga tak mengenal Schutzie sebagai Senior. Yeah—Schutzie tak suka ada embel-embel senior melekat di depan namanya. Mata Schutzie mengerjap satu kali. Syal hijau perak yang melingkar di tengkuk anak itu—menunjukkan bahwa dia Slytherin—sama seperti Schutzie Kebetulan yang menyenangkan. Mereka bisa sama-sama kembali ke sarang bawah tanah kalau begitu. Marius bersuara lagi—menanyakan kenapa Schutzie berada di tempat ini—yeah, Schutzie pun tak mengerti dear. Kenapa ia rutin sekali bertandang ke Lapangan Quidditch—padahal, ia bukan anggota tim. Hanya terlanjur cinta mungkin pada Quidditch—dan padanya. Seeker Slytherin. Mantan seeker tepatnya.

“Aku suka Quidditch, Marius—eh, boleh kan kupanggil begitu? Aku tak biasa memanggil seseorang dengan nama belakangnya. Canggung. Lagipula namamu susah sekali—tak bisa kueja. Heheh--” Schutzie tertawa renyah. Orang luar mungkin memaknainya dengan senyum alami—tapi nyatanya tidak. Kamuflase semata, agar Marius tak membaca raut muram Schutzie. Belum saatnya Schutzie membagi rasa sedihnya pada Marius—mereka baru saja kenal. Dan mungkin anak itu juga sedang punya masalah. Schutzie tak mau merepotkan Marius.

“Kau kedinginan ya?” Schutzie mengerling Marius yang hanya berbekal syal Slytherin. Pasti kedinginan. Segera saja gadis berambut hitam itu mencopot topi rajutnya—memasangnya di kepala Marius. Begitu pula dengan sarung tangan coklatnya—kini disodorkan pada Marius. “Pakai—dan jangan menolak. Aku tahu—kau kedinginan” gadis itu pura-pura memasang wajah mengancam—lalu tersenyum hangat setelahnya. Angin semakin kencang berhembus—menyibakkan rambut hitam Schutzie yang jatuh tergerai. Berantakan—yeah. Sama seperti sosok Black ketika baru saja meluncur turun dari sapu. Dan Schutzie suka—cinta gayanya saat membenarkan rambut.


****


Aneh sungguh anak di sampingnya ini. Marius—yeah, dia itu aneh. Tadi dia menyapa Schutzie dengan lancarnya—bertanya ini itu. Tapi sekarang? Sepertinya Marius lebih banyak diam dan membuang pandangan. Yayaya—sejak tadi memang anak itu tak banyak menoleh ke arah Schutzie. Hanya satu dua kali—dan cuma sebentar. Yeah. Setelah itu menunduk lagi atau kalau tidak—Marius memilih untuk memandang hamparan salju yang menutupi rumput hijau Lapangan Quidditch. Apa menariknya, eh? Dia juga mengidolakan para pemain Quidditch? Senior Laranayl mungkin? Atau Rastaban? Atau dia ada masalah juga—ada yang mengganggu pikirannya mungkin?

No one cares to talk about it,
can we talk about it?


Wahetever, yang jelas Marius tampak well—senyumnya berbeda—oh no. Jangan bilang, kau suka senyumnya, Schutzie. Gadis berambut panjang itu menghela nafasnya sambil merentangkan tangan. Otaknya sudah mulai mampet—aneh. Sekali lagi : INI ANEH. Senyum itu—meski hanya sekilas dan tak terlalu lebar, tapi mampu membuat Schutzie merasakan sensasi yang berbeda. Bukan, bukan nervous atau semacamnya. Tapi rasa bahagia—well, cerna sendirilah. Schutzie senang melihat senyum Marius. Seperti ketika kau melihat lengkungan pelangi kala hujan reda di sore hari. Jadi, itu namanya apa?

I don't mean to run,
But everytime you come around I feel,
More alive, than ever
And I guess it's too much


“Te..te—rima kasih.”
Tuh kan, Marius jadi lebih aneh sekarang. Kata-katanya terbata, seperti orang gugup. Schutzie menakutkan ya? Atau—jangan-jangan, anak yang berdiri di sampingnya ini—sedang sangat kedinginan? Gawat, bisa sakit dia kalau benar begitu. “Lalu, bagaimana denganmu—angin berhembus dengan kencang? Aku tidak bisa menerima hal seperti ini.” Eits, anak ini minta dimutilasi ya? Menolak topi rajut dan sarung tangan pemberian Schutzie? Nakal.

Jari-jari Schutzie selanjutnya sudah mengacak pelan rambut Marius—lalu merangkulnya tiba-tiba detik berikutnya. Yeah. Me-rang-kul. Melingkarkan tangannya di pundak anak lelaki yang lebih pendek darinya itu. Tidak kok, tidak cebol—hanya beda sekian senti saja. Hoho. “Kau pilih mana? Memakai topi dan sarung tangan itu—atau begini?” Schutzie mengerling jahil, tanpa gentar sedikitpun—berusaha menatap bola mata Marius. Sumpah, Tuhan. Schutzie tak berniat menggoda adik kelasnya ini. Tangannya bergerak refleks begitu saja—dan rangkulan itu hanya berdurasi sekian detik. Sepuluh mungkin—sekarang sudah bergerak sekali lagi untuk memasang—secara paksa—topi itu di kepala Marius. Lalu menyodorkan kaos tangannya juga untuk yang kedua kalinya. “Pakai saja—aku punya ini kok--” gadis itu menunjuk mantel kuning gading yang membuatnya tetap hangat. Lalu menoleh ke arah Marius—lengkap dengan senyuman yang juga hangat. Tulus.

"Jadi--apa yang membuatmu nyasar ke tempat ini, Marius?"

dan Schutzie lupa satu hal--

--dia tak ingat Black.


****


Entah kenapa, Schutzie tak lagi merasa bagai selongsong kulit tanpa isi. Tadinya hampa, kini lebih berwarna. Anak itu—yang kini memejamkan mata sambil menghirup udara lambat-lambat disampingnya, hadir memberi sesuatu entah apa. Berbeda—menarik dan misterius. Yeah—ada yang membuat Schutzie tak bisa beranjak begitu saja tanpa tahu lebih banyak tentang anak ini, Marius itu. Dia memiliki daya pikat tersendiri di balik sikap tertutupnya itu.

“Hanya sekedar berusaha melupakan kesedihan saja.”

Hei—apa tadi katanya? Berusahamelupakankesedihan? Schutzie memicingkan mata, alisnya saling bertautan. Berpikir. Anak yang kini berdiri di sampingnya—menunduk sambil tersenyum tipis sementara angin memainkan poninya yang melambai liar, sedang ada masalah. That’s point. Mereka senasib. Victims of love juga, eh dear? Who knows. Schutzie gagu menit itu juga—tak tahu harus bilang apa. Mereka baru kenal dan akan sangat lancang sekali bila Schutzie bertanya seperti ini : Siapa yang membuatmu sedih, sini kumutilasi. Yay. Sangat tidak tepat—meski sebenarnya Schutzie memang ingin tahu.

I had to stop myself
From saying something


Mata Schutzie mengerjap. Lalu bersin tiba-tiba tepat ketika Marius bergerak entah melakukan apa dan menit detik berikutnya gumpalan salju sudah mengotori lengan mantelnya tepat ketika Schutzie menutup hidung dan berseru ‘Hatchiiieeemm!!’. Gadis itu berkacak pinggang segera setelah sadar apa yang terjadi. Tapi Marius tak berhenti sampai disitu—Schutzie diterjang dua bola salju sekaligus. Lagi. “—karena berhasil memakaikan topi dan sarung tangan itu kepadaku.” kali ini Schutzie tak tinggal diam dan segera berjongkok untuk meraup salju sebanyak ia bisa. Brr—dingin juga rupanya, ketika serpihan es beku itu bersentuhan langsung dengan kulitnya. Tanpa sarung tangan. Tapi tak apalah. Marius pasti jauh lebih kedinginan bila sarung tangan itu Schutzie ambil kembali. Lagipula, kau pikir Schutzie setega itu, eh?

“Berani membalasku?—nona?” bah. With pleasure, Mister Baby Slytherin. Why not? Schutzie tidak sebaik itu, dear.

Gadis itu mengambil ancang-ancang agar lemparannya tidak meleset dan –BEEUUGGHH eng-ing-eng, bola saljunya telak menerjang wajah Marius yang ooopps—Schutzie baru sadar, Marius tadi tertawa lebar. Dan sangat mungkin, serpihan es beku itu menerobos masuk ke dalam mulutnya. Yay! Makan itu, dear. Schutzie tertawa lepas sambil memegang perutnya. Tergelak. Yeah—kehilangan Black dan ditinggal Timothy, kakaknya—itu semua itu tak lagi menempati ruang utama di benak Schutzie. Kau berhasil Marius, silahkan beri applause meriah untuk bayi ular satu itu yang telah sukses membuat Schutzie tak lagi bersedu sedan meratapi nasibnya. You got it.

You got it you got it
Some kind of magic
Hypnotic hypnotic


–BEEUUGGHH satu lagi bola salju menerjang Marius, kali ini lengkap dengan teriakan khas Schutzie "Yihaa--welcome to the real jungle, little snake--"

--dan selamat datang di duniaku, Marius.

"Hey! Mau adu boneka salju denganku? Pemenangnya--err, boleh minta apa saja--" tantang Schutzie tanpa gentar. Yeah, mereka akan membuat boneka salju masing-masing, lalu saling membantai satu sama lain. Kita lihat--anak itu bisa apa tidak mengalahkan Schutzie. Hoho. Majesty Snow Fairy--begitu julukan Timothy dulu untuk Schutzie. Yeap, dulu--dulu sekali. Schutzie baru merasakan lagi luapan rasa bahagia itu saat ini--bersama Marius.

You got it you got it
Some kind of magic
Hypnotic hypnotic


****

Ayolah—katakan iya dan perang dimulai, Marius.

We've learned to run from anything uncomfortable
We've tied our pain below and no one ever has to know
That inside we're broken


Schutzie sumringah—memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Gadis berusia tiga belas tahun itu tersenyum setengah mengejek, well—bercanda tentu saja, ke arah Marius yang masih berdiri tak jauh darinya. Tersedak bola salju yang dihadiahkan Schutzie untuk junior manisnya itu. Schutzie sibuk kembali membulat-bulatkan salju untuk membuat pondasi boneka saljunya—gadis itu tak menyadari langkah Marius yang mendekat ke arahnya. “Kamu baik-baik saja? Tadi terlihat kau bersin. Berarti kau kedinginan ya?” Schutzie menengadah, dalam keadaan sedang jongkok seperti ini, sosok Marius menjulang jauh lebih tinggi lengkap dengan senyumannya yang uh-oh, innocent? Cute? Nicolas Morcerf pasti akan tertawa laknat melihat moment ajaib ini.

Schutzie bengong.

Yeah, mata pandanya semakin membulat—dan ia tak bisa mengelak ketika Marius mengucapkan kata “….aku pergi dari tempat ini”. Jangan. Schutzie tak ingin melepas sensasi bahagia ini begitu saja. Maka seperti kerbau dicucuk hidungnya, Schutzie menerima sarung tangan miliknya kembali—yang kini disodorkan Marius. So sweet ya Marius ini. Aih, rupanya diam-diam anak itu memperhatikan gerak-gerik Schutzie ya….

Dan pipi Schutzie bersemu merah jambu—

--hanya sebentar.

Ia memalingkan wajah seketika—tak kuasa menatap binar hazel redup dibalik poni yang menjuntai itu. Tahu bahwa ada yang tidak beres pada wajahnya, Schutzie menunduk. Berlama-lama dengan gumpalan saljunya, tanpa melirik Marius sedikitpun. Hey—ini tak boleh terjadi. Anak itu junior—dan Schutzie senior. Apa kata dunia kalau Schutzie sampai jatuh bangun bertekuk lutut di hadapan juniornya? Aih—Nicolas Morcerf pasti menari hula-hula lengkap dengan pom-pom di tangan. Nista.

But—isn’t a forbidden?

I try to patch things up again
To calm my tears and kill these fears
But have I told you, have I?


“Benarkah? Jangan tarik ucapanmu itu.“
Marius bergerak menjauh, membentuk benteng pertahanannya sendiri, mungkin. Schutzie hanya mengamati dari sini—mengangguk singkat. Nyalinya masih ciut untuk menatap lama-lama binar redup milik Marius. Yeah—dia harus fokus pada boneka saljunya. Tak boleh kalah—dan andai gadis itu akhirnya menang, bolehkah meminta satu hal?

Hanya satu—

—please don’t go now

please don’t fade away—


Marius.

Schutzie membentuk boneka saljunya—meraup salju terdekat lalu membentuknya menyerupai bulatan tubuh boneka salju. Terus begitu hingga bonekanya nyaris berbentuk 3 tumpukan bulatan putih. Dan ia menyapu pandangan berkeliling. Mencari adakah ranting patah atau bulatan kecil yang bisa mempermanis boneka saljunya. Sesekali gadis itu tersenyum tipis sambil mengerling ke sebelahnya. Tak jauh dari tempatnya, ada sosok cemerlang yang membiaskan pendar istimewa. Marius ada di sana.

"Hoi--kau sudah siap beluuumm" Schutzie berteriak nyaring. Sentuhan terakhir pada bonekanya berupa syal kuning gading, dan kini ia siap berperang. Gumpalan salju berbentuk bola yang lebih kecil, sudah tersedia banyak sebagai meriam perang salju. Yeah--let's begin the battle.

Now.

"Serbuuuuuu...." Schutzie melempar bola saljunya membabi buta. Menerjang Marius dan bonekanya. Meleset atau tidak? Biarkanlah. Setidaknya ia bisa tersenyum dan menikmati sensasi itu. Meski hanya sebentar--

or forever?

****

Wait, don't go away.
Just not yet.
Cause I thought,
I had it.
But I forget.


Schutzie berkacak pinggang, sambil menelengkan kepalanya ke kiri sedikit. Ia baru saja menghindari serangan kubu lawan dengan cara berdiri kokoh di depan boneka saljunya yang diberi nama Snowpy. Hei—itu tidak curang, kan? Ia dan Marius hanya berperang siapa yang dapat menghancurkan boneka salju milik lawan—tak ada aturan mengikat tentang tata caranya. Wakakaka. Lain kali, sedikit jeniuslah bila menghadapi Schutzie, dear. Dan kini gadis itu mengamati lekat-lekat boneka salju milik Marius yang err—tidak berbentuk sama sekali. Nyaris seperti si kerempeng Filch. Haha. Anak itu tidak berbakat rupanya. Dan wait—pondasinya, pondasi bonekanya kurang mantap. Aih, kalau begitu saja sih, satu kali senggol juga hancur. Blaszt. Tak bersisa. Gadis itu menyunggingkan senyum kemenangan, menghitung dalam hati—mundur mulai dari angka lima. Berjongkok, siapkan amunisi berbentuk bola salju, ambil ancang-ancang lalu PAATTTSS-- kena kau, sweety Marius.

Boneka Marius hancur—yeah, kembali menjadi serpihan es abstrak yang menyatu dengan gundukan salju tempat di mana mereka berpijak sekarang. Schutzie berteriak, lompat sambil meninju udara. Yihaa!!! Dia. Menang. Telak. Dan janji adalah janji. Siapa yang kalah harus bersedia melakukan apapun titah si pemenang kan? Jangan bilang, kau mau berkelit Marius. Schutzie akan melabelimu pecundang, kalau kau kabur detik ini juga.

“Woohooooo!! Aku menang, dear Marius—dan sesuai janji—“ Schutzie kembali melilitkan syal kuning gading di sekitar tengkuknya. Lalu melanjutkan kata-katanya tanpa mengalihkan pandangan sedetikpun. Eye to eye-- “—kau akan mengikuti apapun permintaanku kan?” tanya Schutzie manis dengan tampang polos ala anak kecil yang sedang berkelakuan baik demi mendapatkan barbie impiannya.

“Well—sini, kau!” Schutzie memberikan gestur agar Marius mendekat. Yeah—mereka masih berdiri di kubu masing-masing. Terbentang jarak sekian meter. Enaknya minta apa yaaa~~~

And I won't let you fall away,
From me. You will never fade.
And I won't let you fall away.
From me. You will never fade away from me.


“Gendong aku—sampai ke asrama—” oh Schutzie suka bagian yang ini. Sungguh. Jadi, silahkan dear Marius. Lady Schutzie Serenadett MaCbeth ingin lihat bagaimana reaksimu.


****

Schutzie. Suka. Marius.

Eh—ralat.

Schutzie. Suka. Raut. Wajah. Marius. Yang. Sedang. Panik.

Yeah—membuat jemarinya susah untuk tidak bergerak mengacak rambut lalu mencubit pipi juniornya itu. Gemas. Oh, oke—Schutzie akan melakukannya nanti. Tahan dulu, Marius masih jauh dari jangkauannya. Anak lelaki yang lebih sering menunduk—dan senantiasa mengulaskan senyum tipis itu, masih berusaha meyakinkan diri akan apa yang baru saja ia dengar. Nampaknya shock—tidak menyangka Schutzie akan mengucapkan permintaan seperti itu. Schutzie. Minta. Digendong. Sampai asrama lho ya—bukan kastil. Berani bertaruh, juniornya itu pasti tidak mau. Lihat saja--

“Hmm. Bagaimana ya? Kau tidak berat kan? Lagipula permintaan apa sih ini? Sebenarnya aku ingin menolak sih” Nah—benar kan? Marius tak mengabulkan permintaan Schutzie. Anak itu bahkan belum beranjak sedikitpun dari benteng pertahanannya. Rupanya masih menimbang-nimbang dan sedikit mengulur waktu yang entah sudah berdurasi berapa ratus detik ini. Euh—kau menikmati hari ini, Marius? Semoga. Schutzie sih iya. Gadis itu sejak tadi tak henti mengulum senyum—berusaha menahan tawanya yang kini sudah tergelak tanpa tedeng aling-aling.


“Anak kecil sepertimu mana bisa mengalahkanku—percuma Sussi dear” Timothy berkacak pinggang, dengan binar abu-abu jernih yang berkilat jahil. Sementara di seberang sana, gadis kecil berkuncir kuda, memonyongkan bibirnya dengan kesal. Tidak terima boneka saljunya dihancurkan begitu saja.

“Kau akan kalah, Timothy! Akan kalah! Tunggu saja sampai aku bisa menyihirmu jadi beruang kutub—dan kupastikan, Snowpyku akan berdiri tegak menantang boneka salju jelekmu” Schutzie kecil berbalut mantel tebal merah jambu, ikut berkacak pinggang. Mencibir ke arah kakaknya lalu berlari pulang kembali ke dalam Kasteel MaCbeth. Timothy mengejar dari belakang dengan satu dua langkah lebar—ditangkapnya gadis kecil itu dengan mudahnya.

“Kena kau, penjahat kecil” dan anak lelaki usia tiga belas tahun itu, membopong tubuh adik kecilnya yang meronta hebat minta diturunkan.

“Turunkan aku, TIMOTHY JELEK!!” Schutzie memukul-mukul bahu kakaknya—mencakar dan menggigit apapun yang terjangkau olehnya.


“—As you wish. Kalau kau tidak mau, maka kutinggalkan. Naik ke punggungku—Schutzie” Nyeh? Gantian Schutzie yang panik. Gadis itu tak menyangka, Marius akan mengabulkan permintaan konyolnya tadi—anak itu sudah membungkuk dan memaksa Schutzie naik di punggungnya. Digendong? Sampai asrama? Bisa patah tulang anak orang bila Schutzie nekat melakukannya. Nope.

“Bodoh—aku tidak seri—HWATCCHHIIIIMM” Schutzie berkelit mundur sekaligus bersin pada saat yang bersamaan. Tubuhnya menggigil tiba-tiba, dan kepalanya pening bukan main. “—aku cuma bercan—HWATCHIIIMMM” rasanya bagai ditusuk ribuan jarum, mengingatkan Schutzie akan tragedi jarum berdarah di kelas Transfigurasi tahun pertama dulu. Tubuh gadis itu oleng tiba-tiba dan untung saja kepalanya rebah di pundak Marius.

—sebenarnya yah, sekedar informasi, Schutzie masih ingin menikmati hujan salju di sini. Lapangan Quidditch ini, bersama Marius. Nyaman. Tapi meringkuk di balik selimut tebal ruang bawah tanah—adalah pilihan yang terbaik. Jadi, Schutzie berusaha menegakkan kepalanya yang terkulai—“Aku—HATCHIIIMM—maaf—aku kembali ke—HATCHIIIEEM—kembali ke kastil” sial. Kenapa harus terserang flu sekarang sih? Wajah Schutzie memerah--entah nervous atau pengaruh suhu tubuhnya yang demam tiba-tiba. Frekuensi salju yang turun semakin meningkat. Ritme slow motion tadi, kini berganti sudah.

And do you ever want me, do you ever need me?
I know you left before goodbye
And it's okay, there's always another day
And anytime you want me, anytime you see me
I don't think you meant to say goodbye



****


Sudah lama sekali rasanya Schutzie berbaring di atas sofa plastik empuk dengan upholstery keemasan. Matanya terpejam dan kepalanya pening bukan main. Suhu tubuhnya meningkat drastis melebihi batas normal. Sesekali pelupuk matanya meneteskan cairan bening hangat. Bukan karena kesakitan atau apa—tapi memang begitulah tipikal Schutzie bila sedang tidak enak badan—cengeng. Setengah mati gadis kecil berpipi tembam itu berusaha sembunyi dari kakaknya, Timothy. Makhluk menyebalkan sedunia yang merupakan pengolok-olok paling keji. Tidak ada image seorang kakak yang baik melekat pada sosok Timothy—menurut Schutzie.

Dan tiba-tiba pintu berbahan kayu ek berpelitur dengan ornamen Pegasus di bagian gagangnya itu, mengayun terbuka—menimbulkan bunyi derit pelan. Remaja laki-laki berambut coklat berantakan, masuk pelan-pelan. Berusaha tak menimbulkan bunyi sedikitpun. Lalu menyapu pandangan berkeliling ruangan luas beraksen Eropa klasik itu—dan terpancang pada satu titik. Adiknya. Adiknya sakit—bagaimanapun. Betapapun hiperaktif, lincah dan menyebalkannya bocah satu itu—tetap saja dalam keadaan sakit begini, Timothy tak tega menjahilinya.

“Bodoh! Sudah kubilang—jangan main di luar” Timothy lebih mirip bergumam alih-alih menasehati Schutzie. Dengan santainya, remaja dua belas tahun itu menghempaskan tubuhnya di salah satu lengan sofa—berdecak tak sabar setelah itu. “Anak manja sepertimu—harusnya main di dalam saja. Tak usah sok pamer berselancar salju—mengaku kalah saja apa susahnya sih, Sussi dear” hell. Lihat kan? Timothy itu memang jahannam. Terkutuk. Schutzie berusaha buta tuli atas apa yang baru saja ditangkap oleh inderanya. Semakin meringkuk dan bibirnya bergemelutuk kedinginan. Demi jenggot Merlin terkepang enam—ingin sekali Schutzie menimpuk kepala Timothy dengan stick golf andalannya. Five star—produksi Honma. Tunggu saja, dear. Akan ada saatnya pembalasan itu.

Timothy bergerak—beringsut meraih selimut tebal berkelim hijau toska yang terlipat rapi di atas ranjang besar milik Schutzie. Tanpa banyak komentar, diselubungkannya selimut itu menutupi tubuh adik kecilnya—menyebalkan. Kenapa juga Mom dan Dad harus tinggal jauh di Indonesia sana sih? Dan si Nenek Tua itu—mana dia? Kenapa tak ada yang menjaga bandit kecil ini? Mana Esmeralda? Lolita? Deborah? Pembantu macam apa mereka bertiga itu. Hati Timothy tergerak untuk mengusap rambut hitam adik kecilnya--

--dan Schutzie tertegun. Tidak menyangka kakaknya akan bertindak seheroik itu. Hell. Yeah—itu membuktikan, bahwa anak berambut coklat yang baru saja menyelimutinya itu, adalah kakaknya. Saudara. Sekandung. Bukan sekedar bayi nyasar yang mengaku bermarga Macbeth. Dan tangan gadis itu bergerak pelan—meraih jari besar Timothy yang masih bercokol di atas kepalanya. “Kau mau menjambak rambutku yah?” bingo! Jangan pikir, Schutzie gampang terjebak tipu muslihatmu wahai Timothy. Mawas diri—Schutzie kecil terlalu sering menjadi korban kejahilan kakaknya, jangan salahkan.


Euh—dingin... tapi hangat?

Sekian detik berlalu dalam keheningan. Schutzie baru saja sadar apa yang terjadi—matanya mengerjap berusaha memfokuskan pandangan. Semuanya putih, dan tetap dingin. Butiran salju yang jatuh menimbulkan sensasi dingin yang berbeda bagi tubuh tidak sehatnya. Sekali lagi—sebenarnya dingin, tapi kok hangat? Dan gadis itu tahu—seseorang baru saja membuatnya tetap hangat. Marius. Syal hijau-perak yang tadinya menyelimuti tengkuk anak laki-laki itu kini tak ada—Schutzie bisa melihat punggung dengan jelas dan err—menghirup aroma berbeda? Wangi parfume siapa sih ini?

“—aku sangat menikmati hari ini.”

Demi Merlin berkuteks merah jambu--apa sih yang dipikirkan anak tolol ini? Mau patah tulang? Encok? Reumatik?

“Bertahanlah sampai kastil.”

Wotdehel—apa yang eh—

Nope.

Schutzie berusaha melepaskan diri dari gendongan juniornya itu. Hell. Kepalanya masih pusing—tapi ia tak tega melihat langkah Marius yang tertatih membopong tubuhnya. Sungguh. Anak itu pasti susah payah membawa beban seberat 45 kilogram di punggungnya. Jadi, harus bagaimana?

“STOP!” Schutzie berteriak tiba-tiba, meski kedengarannya tak beda jauh dengan intonasi biasa. Untuk bersuara saja, rasanya susah sekali. Pusing. Tapi gadis itu tetap bersikeras untuk turun dari punggung Marius. Kakinya hanya melayang sekian sentimeter dari permukaan dan HAP—kini Schutzie kembali menjejak salju. Oleng, tangannya refleks bertumpu di bahu Marius. “Jalan kaki—lebih baik. Bagus untuk kesehatan--” dan senyum manisnya terulas lagi—meski nampak lemah, imbas dari raut wajahnya yang pucat. Refleks menarik tangan Marius—lalu mengenggamnya—

When this memory fades
I'm gonna make sure it's replaced
With chances taken
Hope embraced
and have I told you?


“Ayo kembali ke sarang kita—bayi ular” menggenggamnya erat—berat untuk melepasnya. Lalu melangkah bersama-sama menerobos hujan salju yang semakin lebat saja. Rasanya dingin—tapi kok hangat? Schutzie tersenyum—manis. Yeah—baru pertama kali merasakan yang seperti ini. Bahkan Regulus pun tak seindah ini nuansanya.

I got a lot to say to you
Yeah, I got a lot to say
I noticed your eyes are always glued to me
Keeping them here
And it makes no sense at all



****






10.23

Minggu, 17 Agustus 2008

Masih terlalu pagi sebenarnya untuk keluar sendirian menuju halaman kastil. Tapi apa boleh buat, Schutzie tak betah berdiam diri di kandang bawah tanahnya yang pengap dan ia sudah terlatih untuk selalu bangun pagi hari lalu berjoging ria di Gelora Senayan sambil mendengarkan musik rock n’ roll dari walkmannya. Sayangnya, ini bukan Indonesia. Dan akan tampak sangat ‘cupu’ bila Schutzie berkeliaran di halaman kastil dengan hotpants ngejreng yang dimix dengan kaos tabrak motif plus aksesoris bandana yang warnanya gila-gilaan. Detik berikutnya, akan ada banyak anak yang mengelilingimu sambil bersorak 'orang gila..orang gila’ dan bertepuk tangan. Nightmare.

Maka dengan berat hati, Schutzie harus meninggalkan rutinitas hariannya itu dan kembali pada realita bahwa dia sekarang tidak di Indonesia, melainkan jauh entah dimana berada terpisah tujuh samudera demi tuntutan menuntut ilmu dan harus memakai jubah kebesaran a la Hogwarts. Homesick tentu saja, mengingat di Hogwarts ini Schutzie belum punya teman dekat yang --mungkin-- bisa mengurangi rasa sepinya. Sudahlah. Toh ini impian Schutzie sejak dahulu kala. Dia sudah bertekad bulat sempurna untuk mengubah sikap kekanak-kanakannya yang senantiasa menjadi bahan olok-olokan Timothy menjadi gadis --super duper ultra mega-- berani dan mandiri.

Semilir angin membelai lembut kulit pucat Schutzie. Titisan darah MaCbeth, kata topi bulukan yang tempo hari menyeleksi Schutzie. Tepat. Karena kulit putih dan mata bulat itu adalah sumbangan hormon dari ayahnya yang memang keturunan leluhur MaCbeth di negeri Belanda sana. Tapi bila kau pikir bahwa Schutzie adalah Little Missy yang gemar berleha-leha dengan lebih dari satu ajudan yang mengekor di belakangnya, maka kau salah total. Karena seperti yang sudah diterapkan oleh Bunda sejak dahulu kala, Schutzie harus jadi makhluk independent yang tidak bergantung pada siapapun. Termasuk grootmoeder – nenek tua bangka yang gemar sekali mendoktrin ini itu dari balik singgasananya. Tapi Schutzie tak benci padanya kok. Hanya jengah melihat nenek dari pihak Ayahnya itu yang selalu memakai gaun --boneka Barbie-- dan sanggul --setinggi monas-- yang tak pernah absen nangkring di kepalanya. Schutzie tersenyum kecil mengingat keluarganya. Semoga semuanya baik-baik saja, di manapun. Termasuk Timothy – orang pertama yang akan Schutzie jadikan kelinci percobaan mantranya. Cruciatus boleh juga.

Matahari mulai mengintip malu-malu dari apa yang tampak seperti garis kasat mata di seberang sana. Sinarnya bersemburat dengan cahaya keemasan. Indah. Schutzie duduk menggelandang begitu saja. Bersandar di salah satu pohon sambil menghirup segarnya udara bebas polusi ini. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang sebelum bertemu lagi dengan tampang-tampang dingin teman seasramanya. Slytherin? Schutzie nyaris tak percaya sekaligus bangga masuk ke sana. Tapi ia harus banyak belajar – bagaimana caranya menjadi orang yang berwajah masam setiap saat serta mencela dengan penuh ‘sopan santun’. Yeah. Itu perlu, untuk menjaga keeksistensiannya di asrama Slytherin.

“Siapapun kau yang di sana! Ke sinilah! I wanna be a cruel lady. Berminat mengajariku?,” teriaknya sembarangan. Cuih! Ngomong apa Schutzie berusan? Semoga tak ada yang mendengar, karena sepertinya – dia hanya sendiri.

But who knows?



***


Setelah berteriak seperti troll kesurupan, Schutzie menepuk jidatnya sendiri. Damn. Dia ternyata tidak sendiri and what the – seorang gadis Asia yang memegang kamera segede gaban menoleh ke arahnya. Schutzie hanya nyengir kuda tanpa merasa bersalah sedikitpun. Memang dia tak berniat menganggu kan? Itu hanya teriakan asal-asalan saja. Sebagai bentuk euphoria seorang bocah yang nyasar masuk Slytherin agung karena topi bulukan tempo hari keseleo lidah. O’o. Schutzie tak menyangka akan ada makhluk lain di halaman kastil selain dirinya yang --kali ini mengakui-- sedemikian idiotnya ini. Dan lebih tidak terduga lagi ketika Senior Slytherin bermata hijau dan berambut Brunette serta disinyalir kuat menderita anoreksia saking kurusnya, datang menghampiri Schutzie. Kemudian bertanya dengan polosnya apakah Schutzie punya masalah kepribadian?

Jari tengah Merlin! Ini diluar dugaan sama sekali. Baru saja Schutzie hendak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan gadis anoreksia itu, seseorang datang lagi. Kali ini gadis manis --Slytherin-- berambut ikal panjang berwarna gelap yang juga menyiratkan maksud yang sama. Menganggap-Schutzie-gadis-autis-teramat-sangat. Gotcha! Mampus kau, Schutzie. Masih ada juga kah asuhan Lord Salazar yang perduli pada nasib naas yang menimpa Schutzie malang ini? Gimme reason to correct something. Ralat! Glek! Schutzie belum sempat berargumentasi lagi ketika seseorang ikut ambil bagian untuk membego-begokan Schutzie. Kali ini lelaki dan seenak jidat ia berpetuah bahwa Schutzie salah tempat dan seharusnya pergi ke Azkaban. What? Oke kalau begitu mari kita semua para pupuk bawang Slytherin berbondong-bondong ke Azkaban untuk meminta ilham dan berguru kepada para Dementor tentang bagaimana caranya menjadi asuhan Salazar yang sebenarnya. Idiot!

Ingin rasanya Schutzie berteriak dan menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi bahwa dia tidak serius. Be a cruel? Oh mai Salazar. Itu adalah hal paling stupid diantara hal teridiot yang akan Schutzie lakukan. Okelah, tadi dia memang berniat ingin belajar menjadi --cruel-- seperti senior-senior Slytherinnya di kompartemen penyamun. Tapi kan tidak serius? Dan bukan seperti ini caranya? Cukup sudah pelajaran dari Senior Prefek Dietr – Distrik dan Senior Amakusa tempo hari. Itu sudah mencakup teori dan praktek untuk menjadi cruel. Tapi ada benarnya juga kata Senior Slytherin berambut hitam tadi. Slytherin is slick and smart. Yeah, except Schutzie tentu saja.

Schutzie masih bingung bagaimana merangkum kata-kata agar wajah-wajah ‘iba’ dihadapannya ini mengerti bahwa tadi itu hanya sekedar joke ‘ringan’ di pagi hari -- ketika sosok narsis dengan kepala botak menterengnya datang sambil mengumumkan pada dunia bahwa Schutzie adalah gadis bar-bar. Well. Good job, Silver. Semakin banyak saja yang datang. Seorang Senior --Slytherin lagi-- baru saja bergabung. Melipat tangannya sambil tersenyum sinis dan tak lupa embel-embel crazy yang Schutzie tahu itu sederajat dengan autis. Kemudian datang lagi seorang bocah seusia Schutzie yang meskipun menyiratkan raut tidak tertarik, tapi tetap ikut andil sambil sesekali melirik Silver. Jangan dekat-dekat dia, Miss. Dia berbahaya sekali teramat sangat, hati kecil Schutzie histeris.

Ini sudah melenceng terlalu jauh. Lakukan sesuatu atau harga dirimu akan terperosok jauh ke dalam inti perut bumi! Schutzie menggeleng-geleng lemah, menggigit ujung bibir bawahnya sambil mundur perlahan. Mengatur mimik wajahnya agar tidak tampak seperti [censored] baboon. Mustahil. Oke. Pasti ini bisa teratasi. Semakin cepat semakin baik. Sebelum para Senior yang lebih ahli sejenis Mister Prefek Dietr – err Distrik datang dan memberi hukuman di hari pertama Schutzie yang seharusnya indah ini. Nightmare.

“Itu hanya candaan bocah seusiaku, Senior. Jangan diambil pusing! Biasalah – bagi anak belasan sepertiku, itu hanya bentuk ungkapan ‘yes-aku-masuk-Slytherin’. Dan aku tidak ada masalah dengan kepribadian. Jadi, selesai. Tapi aku acungkan jempol untuk Mister err -,” Schutzie menoleh pada lelaki yang tadi menganjurkannya mengunjungi Azkaban. “Itu saran yang jitu untuk pupuk bawang Slytherin sepertiku. Dan semuanya, salam kenal! Aku Schutzie,” Schutzie mengembangkan senyum tololnya ke setiap sosok yang mengamatinya dengan seksama. Kecuali Silver tentu saja. Tak ada senyum untuk botak satu itu. Tapi Schutzie melirik juga dan terkikik geli melihat tiga goresan merah di pipi Silver.

“Mendapat serangan dari gadis barbar lainnya, eh Senior Silver? Well, tak heran,” ujar Schutzie dengan tampang kasian-deh-loe.

Enjoy it, botak!


***



Apa yang terjadi setelah Schutzie berkoar-koar bahwa semuanya hanya bercanda? Well – sulit ditebak karena Senior err – pukul aku sekarang! McFaddden. Ayolah, Schutzie pernah mendengar nama itu entah dimana baru-baru ini. Schutzie berpikir keras, menguras otaknya yang sudah mampet agar bisa mengingat sedikit saja tentang Senior McFaddden. Dia yakin pernah mendengar nama seniornya itu disebut-sebut. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Ck ck ck…..come on Schutzie! Jangan pelihara dan membiarkan sifat pikunmu itu beranak pinak! McFadden. McFadden. McFadden. Oh sudahlah, tak bisa dipungkiri Schutzie memang penderita pikun akut.

“Absolute, Miss. Dan suatu kebanggaan tersendiri kau bisa mengeja namaku. Biasanya orang-orang memanggilku Sussi atau apalah. Senang berkenalan dengan anda, Senior McFadden,” jawab Schutzie dengan senyum terkembang. Senior McFadden tersenyum anggun ke arah Schutzie kemudian menepuk pundaknya pelan. Lord Salazar! Schutzie tak menyangka masih ada juga bibit ‘unggul’ seperti Senior McFadden di kandang ular Slytherin. Satu masalah selesai. Yeah setidaknya senior yang satu ini tidak secruel asuhan Salazar di kompartemen penyamun kemarin. Sepertinya keadaan sudah mulai aman. Sekarang Senior McFadden menyapa Mister Azkaban yang ternyata bernama Bloomberg? Ugh, nama yang aneh. Kenapa tidak sekalian Bombomcar saja? Lalu gadis berambut ikal itu juga tersenyum ramah ke arah Herdma – gadis yang tadi membego-begokan Schutzie dengan kata crazy.

Schutzie nyaris tertawa sambil berguling-guling ketika Senior McFadden, entah sengaja atau tidak – berkata bahwa sinar matahari sangat menyilaukan mata tepat saat mengerling ke arah Silver botak. Good job, Miss. Kemudian McFadden kembali mengerling ke arah seorang gadis penderita anoreksia dan menyebut kata Bau. Apa? Bau? Yang benar saja! Orang tua gadis anoreksia itu sadar tidak sih, kalo anaknya akan berpotensi menerima cemoohan bertubi-tubi dengan memberi nama seperti itu? Bau. Seolah tak ada nama lain saja.

Yeah, kini sinar matahari mulai sedikit meremang karena kekinclongan kepala botak Silver telah tertutup topi seperti apa yang didaulat oleh McFadden. Kemudian si botak itu berkoar-koar entah apa dan menyebut kata bar-bar lagi. Schutzie hanya terkekeh dan menoleh ke arah datangnya suara yang memanggil namanya. Angela? Ia tersenyum ke arah temannya itu lalu memintanya ikut bergabung dengan senior-senior Slytherin.

“Kemarilah Angela!” Schutzie menepuk-nepuk rumput di sampingnya agar Angela duduk di dekatnya. “Kau harus tahu siapa yang ada di sini. Tadaaa! Si botak kinclong mentereng! Ho ho ho. Sepertinya kalian berjodoh ya?” ujar Schutzie tak lupa lengkap dengan cengiran jahilnya. “Oh ya, dan mereka-mereka ini Senior Slyther–“

DHUAAARRRRR!!!

Argggghhhhhhhh.

Semuanya terjadi begitu cepat. Schutzie tak tahu bagaimana kronologisnya. Yang jelas, seseorang melemparkan sebuah entah-apa -- yang tepat mengarah kepada Schutzie -- kemudian meletus dan Tadaaa!!! Darah segar mengucur dari betis kanannya.

Oh. My. Lord. Salazar.

Sekali lagi, ARRRRRRGGGGHHHHHH !!!!



***


Katakan ini mimpi, kawan!

Siapakah gerangan yang sedemikian dendam kesumat hingga berniat membunuhnya bahkan sebelum ia sempat merasakan kelas Transfigurasi pertamanya? Teganya dirimu teganya teganya teganya. Oh. My. Lord. Salazar. Schutzie shock. Seandainya saja ia adalah nenek keriput lanjut usia, mungkin Schutzie sudah meninggal di tempat. Dan seandainya saja Schutzie sendirian di tempat ini, mungkin keadaannya juga tak beda jauh dengan hipotesa pertama tadi. Game over. Bayangkan, bagaimana seorang bocah polos (?) dan lugu (?) seperti Schutzie bisa menghandle insiden ini sendirian. Oh no! Schutzie masih butuh sosok kakak, sejujurnya. Ia masih berdiri di balik bayang-bayang seorang Timothy Axeladet. Orang yang paling ingin dimantrai sekaligus sosok yang paling diinginkannya saat ini. Setidaknya Timothy jauh lebih baik daripada si botak satu itu. Yeah, siapa lagi kalau bukan Silver? Helloh, dunia! Look at me! Hiks, Schutzie bergidik miris karena si botak itu menggendongnyaa dengan sigap seperti pasukan berani mati Irak.

Salahkanlah McFadden karena ia yang menyuruh si botak itu. Paling tidak begitulah kira-kira yang bisa ditangkap oleh telinga Schutzie. But anyway, Schutzie mengacungkan empat jempolnya untuk McFadden yang sedemikian heroiknya menghandle tragedi bom Slytherin ini. Schutzie sendiri tak bisa melihat semua rentetan tragedi setelahnya. Karena bocah itu sudah memutuskan akan lebih damai bila ia --berakting-- pingsan saja. Dengan demikian, Prefek Distrik --yang muncul seperti jelangkung-- tidak perlu repot-repot bertanya ini itu pada Schutzie. Apalagi setelah mendengar kata detensi? Well – pingsan jauh lebih baik.

Maka dengan sangat terpaksa teramat sangat very much – Schutzie merelakan diri berbaring di --yaks-- gendongan botak mesum itu. Jari tengah Merlin! Ini tidak lebih baik daripada menghadapi Prefek Distrik sebenarnya. Tapi sudahlah, toh sepertinya si botak mesum ini tak akan berbuat kenistaan lagi. Kalaupun iya, coba saja! Dan Schutzie akan buat perhitungan lebih lanjut pada botak satu itu. Berani pada gadis bar-bar, eh botak?
Lagipula situasi sedang genting sekarang. Lihatlah betapa banyak oknum yang panik dengan insiden ini. Sekali lagi tepuk tangan untuk Schutzie yang sudah sukses menjadi center of interest di hari pertamanya. Mereka-mereka ini begitu baik rupanya. Dan Angela – oh temannya itu sangat perhatian. Schutzie berjanji akan memberikan semua kartu coklat kodoknya pada Angela nanti. Oh – dan McFadden juga – dan Silver --walau dengan berat hati-- harus mendapatkan bentuk penghargaan dari Schutzie.

Kalian harus tahu, betapa berantakannya seorang Schutzie sekarang. Stoking hitam yang melindungi betisnya pasti sobek, raut wajahnya pucat pasi tanpa rona merah di pipi, dan rambutnya awut-awutan karena belum sempat dikuncir. Intinya – Schutzie hanya berharap satu hal. Semoga Senior Black tidak melihat insiden ini. Refleks, Schutzie menyelipkan tangannya ke saku jubah dan ujung-ujung jarinya menyentuh permukaan sapu tangan Toujurs Pur milik Regulus. Lembut. Satu-satunya hal yang bisa membuat Schutzie tak ingat Timothy lagi

-- senyum

Black. Regulus tentu saja, bukan Sirius.



***



Wow. Wow. Wow.

Semakin banyak saja yang bergabung rupanya. Tak hanya sekedar siswa-siswi kurang kerjaan di pagi hari tetapi juga Profesor --tua, Schutzie yakin itu meski hanya mendengar suaranya-- ikut meramaikan halaman kastil pagi ini. Bahkan Professor itu berpetuah bijak – eh meminta penjelasan? Penjelasan yang jujur sekali lagi. Idiot! Tak bisakah ia mencerna penjelesan Silver featuring Bloomberg yang sudah lebih dari cukup itu? Hiks, staff guru yang menyedihkan. Jangan bilang Schutzie akan bertemu dengannya di salah satu kelas nanti. Nightmare.

Prefek Distrik mulai menjelaskan apa yang bisa ditangkap oleh otaknya tadi, tidak terperinci tentu saja dan tidak membantu. Come on Prefek, masa kau tak berbelas kasihan melihat kekacauan yang menimpa dominan kaum Slytherin ini? kau Slytherin bukan, sih? Buka mata lebar-lebar dan lihatlah fakta yang terpampang jelas tanpa perlu di zooming lagi. Dua cecunguk entah-siapa itu datang mengacau tiba-tiba dan melakukan tindak criminal yang bisa mengancam stabilitas asrama Slytherin. Yeah, mereka menyerang ular - dan bukan ular namanya bila tidak menyerang balik. Atau kau mau bilang bahwa Slytherin sekarang berubah menjadi kelompok kaum-kaum yang baik hati dan lemah? Geblek! Andai Schutzie sadar (bocah itu masih mengatupkan mata rapat-rapat berlagak pingsan) ia pasti sudah membantai anak itu dan meminta pertanggung jawaban atas aksi brutalnya. Walaupun dua cecunguk itu berdalih bahwa semuanya hanya gurauan sejenis ‘welcome-new-student’ tapi apakah mereka tidak memaksimalkan fungsi otak dan menarik satu hipotesa bahwa melempar petasan dapat menyebabkan kanker, serangan jantung dan gangguan kehamilan dan janin? Atau mereka memang tidak punya otak, eh?

Silver berkoar-koar lagi, undur diri untuk mengantar Schutzie dan Bau ke rumah sakit. Oke, good boy! Memang lebih baik pergi saja dari hadapan tua bangka satu itu. Bila memang harus menanggung detensi, ya sudah detensi saja. Potong angka Slytherin? Potong saja, tak ada pengaruhnya bagi Schutzie. Tapi tolong jernihkan akal sehatmua, tua bangka! Slytherin are the victim. “Anggap saja saya salah—jika anda memang menginginkannya. In all due respect—boleh hukumannya diatur nanti? Saya benar-benar butuh ke Hoswing. Now would you excuse us, Profesor? Terima kasih.” Yey! Senior Bau akhirnya bersuara juga, dan akhirnya Silver mulai melangkah meninggalkan kerumunan itu. Samar-samar masih terdengar ‘obrolan’ hangat insan-insan di belakang sana. Rupanya Bloomberg berusaha keras meyakinkan si tua bangka agar percaya pada dongengnya, fiuh. Semoga tak berkelanjutan. Dan semoga apapun keputusan tua bangka itu tidak memberatkan Slytherin. It’s a must

-- or?


***



00.12


Melangkah sendiri di bawah remangnya cahaya malam, Schutzie merapatkan jubahnya. Masih tidak percaya sebenarnya, bahwa ia sudah resmi menjadi salah satu murid Hogwarts. Satu hal yang sejak dahulu kala tak pernah diyakini oleh berbagai pihak dan kini menjadi semacam bumerang. Terutama bagi Timothy Axeladet. Kakak ‘tercintanya’ yang senantiasa bercerita pongah tentang bagaimana sistem belajar di Durmstang jauh lebih masuk akal ketimbang pemahaman teori yang disuguhkan Hogwarts. Well – memang begitukah? Jangan tanya, idiot! Schutzie tak tahu.

Seharusnya Schutzie beristirahat di kamarnya sekarang. Itu lebih baik, demi menjaga kestabilan metabolisme tubuhnya yang sangat rapuh akhir-akhir ini. Sedemikian banyak kejadian doen schrikken – diluar dugaan yang sangat berpeluang menyebabkan hipertensi dini bagi Schutzie. Tapi Schutzie masih enggan berbaur dengan teman-teman barunya. Butuh waktu untuk memaksimalkan fungsi otaknya kembali.

Tak sadar ke mana kakinya melangkah, akhirnya Schutzie berhenti. Kembali takjub dan tenggelam oleh belenggu kegelapan malam yang selalu saja mampu membuatnya merasakan hangatnya rumah. Homesick yang menjalari sel-sel tubuhnya pelan-pelan, kini mulai menguap entah ke mana. Satu hal yang tak berubah, langit kala malam --dimanapun kau berada-- akan tetap gelap lengkap dengan sejuta pesona mistisnya.

Rupanya Schutzie berada di dekat danau hitam –ingat Black lagi— dan ternyata ia tak sendirian. Tepat beberapa meter di depannya, nampak siluet yang sangat unpredictable. Seorang lelaki berambut lurus dan berponi sedang bermain dengan seeekor kucing lucu. Itu akan menjadi hal yang sangat biasa anda saja Schutzie tak kenal sosok lelaki itu. Seraya memicingkan mata, Schutzie tanpa sadar melangkah mendekati sosok itu. Dari pembicaraan di kompartemen 7 yang tercuri dengar olehnya -- Schutzie yakin. Itu Amakusa. Gotcha! Schutzie perlu waktu untuk percaya fakta bahwa sosok dingin nan ‘sopan’ yang sempat memberinya sorotan mata tajam tanpa ampun di kompartemen tadi sedang bermain-main dengan kucing. Sedikit masuk akal, bila itu tipikal kucing garong berwarna hitam yang identik dengan sosok seperti Amakusa. Tapi ini, lihatlah betapa lucu dan cantiknya kucing itu.

Andai saja Schutzie belum ‘kenal’ seperti apa Amakusa, ia pasti sudah datang menghampiri dan berceloteh ini itu. But, NO thank you. Ia tak ingin tampak bodoh seperti anak perempuan tambun yang sejak tadi tak diacuhkan oleh Amakusa.

Enjoy it, babe.

Schutzie menahan diri untuk tidak ikut membelai kucing itu, susah memang. Karena ia teringat Frappio, kucing persianya yang meregang nyawa karena improvisasi mantra yang dilontarkan Timothy.

Shit --

Hoi, Amakusa! Aku-sangat-ingin-menyentuh-kucingmu!

Sekali lagi --andai saja-- Schutzie diberi segenap kekuatan dan limpahan rahmat agar mampu melafalkan deretan kata-kata itu.

It’s hard to ignore. Really...


***

Amakusa menoleh terlalu tiba-tiba hingga Schutzie tak bisa menghindari sorot mata tajam milik lelaki Asia itu. Dan detik berikutnya, Amakusa melancarkan sapaan pedasnya seperti biasa yang sangat ‘Amakusa’ sekali. Ini di luar prediksi Schutzie. Kenapa tidak 'menyapa' anak lain saja sih, Amakusa itu? Bukankah lebih rasional bila seorang Amakusa diam saja --tak perduli-- dan Schutzie juga akan segera meninggalkan tempat itu dengan damai? Tapi okelah. Amakusa yang mulai, maka Schutzie tak punya pilihan selain meladeni. Sekali lagi, ini tidak wajar sebenarnya. Sangat.

“Masih punya sedikit gairah berinteraksi rupanya, Mister? Apapun yang ingin aku lakukan, bukan urusanmu! Kalaupun iya, aku yakin cumi-cumi lebih baik daripada Anda, Mister err – Amakusa, right?,” balas Schutzie dengan nada datar. Tanpa menatap Amakusa, pandangannya lurus ke titik paling jauh di seberang danau. Berusaha menunjukkan mimik tidak tertarik sama sekali padahal nalurinya sudah berontak ingin membelai kucing cantik milik Amakusa yang sedikit lagi bisa dijangkaunya. Entah mukjizat darimana yang bisa membuatnya berani membalas ‘sapaan hangat’ Amakusa tadi. Oh my God! Schutzie sangat yakin sepertinya akan ada pertumpahan darah sebentar lagi. Untuk orang seperti Amakusa, susah untuk tidak memutilasi tipikal gadis kecil seperti Schutzie yang --mengakulah-- sukses membuat darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.

Tapi melangkah pergi juga bukan pilihan yang baik. Tentu saja itu akan membuat Amakusa berada di atas angin. Menang telak tanpa perlawanan. No way! Schutzie tak mau dianggap gadis cemen yang hanya mampu melafalkan deretan stuff-stuff branded atau berbagai macam alat kosmetik. NO MORE, dude. Karena asal kau tahu saja, saat ini Schutzie sedang dalam tahap metamorphoself dimana ia bertekad bulat untuk mengubah stempel ‘Miss aanhankelijk’ menjadi ‘Super duper zelfstandig zijn Miss’. Tak tahu artinya? Enyah saja kau dari galaksi Bima Sakti ini.

Sadarkah kau Amakusa? Tingkahmu sangat membantu tahap metamorphoself ini.

Percayalah.

***

What the hell, yeah?

Apa-kau-bilang-tadi??

Winter-ball?

Dengan-mu?

Setelah semua yang kau lakukan padaku, eh?

Schutzie tertawa. Bukan tersenyum malu-malu tapi mau a la putri keraton. Tapi tertawa dengan mulut terbuka lebar dan sangat mampu memenangkan audisi ‘siapa paling mirip Troll kesurupan’ di seantero Hogwarts. Huahahaha. Oke. Stop it! Ingat pendidikan manner, Schutzie. So, perlukah Schutzie berteriak pada semesta bahwa ini sangat tidak wajar, Amakusa idiot? Atau lelaki di depannya ini memang sudah kehabisan stok cercaan sampai-sampai sedemikian begonya melontarkan candaan yang bisa saja menjadi bumerang, eh?

“…….kau yakin aku tetap tak lebih baik dari cumi-cumi kalau aku mengajakmu ke Winter Ball?"

Shit. Kenapa bayangan Black semata yang berkelebat di benaknya? Senyumnya. Tatapannya. Suaranya. Auranya. Pesonanya. Schutzie memejamkan matanya dan mulai berkomat-kamit layaknya dukun santet siap pelet. Wahai Mister yang berada di hadapanku saat ini, segeralah berubah menjadi sosok Black. Regulus tentu saja. Bukan Sirius.

Tadaaaa!!!

Bodoh. Idiot. Autis. Black sudah punya err – Skater (board) kalau tidak salah? Atau McFadden? Atau, senior Shaula di kompartemen tadi? Perih sekali lagi menghantam dada Schutzie. Tepat dimana seharusnya jantungnya berada. Okelah, bila sakit seperti ini rasanya, mungkin bermain-main akan sedikit lebih baik.

Ayolah, Schutzie tahu Amakusa bercanda. Tapi ‘menggila’ sedikit tak berdosa kan? Lagipula, Schutzie juga penasaran bagaimana reaksi gadis Asia yang sejak tadi memandang penuh harap ke arah Amakusa dan mengajak Amakusa menjadi pasangan dansanya. Gadis idiot! Tidakkah kau lihat bahwa lelaki yang kau puja itu tak tertarik dengan tatapan sendu tipikal pengemis-minta-sumbangan itu? Tentu masih banyak lelaki lain yang ‘pantas’ bersanding denganmu, Nona. Andai saja kau tahu isi otak Amakusa tak lebih hanya bagaimana-caranya-mencemooh-dengan-sopan. What a pitty you are, Miss!

“Well – aku tak tahu bila belum mencoba. Berani membuktikannya?,” deretan kata-kata barusan membuat Schutzie nyaris muntah. Hello? Bagaimana bisa ia menjawabnya dengan sedemikian ‘tidak berkualitas’? Masih ada banyak jawaban yang jauh rasional ketimbang kata-kata ‘kampungan’ tadi. God! Tolong. Otak Schutzie mampet. Totally macet. Terserahlah apa pendapat Amakusa tentangnya. Mau dibilang bermulut comel, silahkan. Menganggap Schutzie gadis nista penggoda om-om juga tak masalah.

Yang jelas, hasrat itu masih untuknya. Black seorang.

***

Viola! Benar dugaan Schutzie, gadis Asia yang begitu memuja Amakusa itu, tampak terguncang mendengar pernyataan Schutzie barusan. Cemburu, eh Miss? Tenang saja, Schutzie tidak akan pernah terpesona pada Amakusa. Well – kecuali bila Schutzie sudah dibawa pengaruh mantra apa namanya, kemudian matahari terbit dari selatan dan bintang-bintang berwarna merah jambu. The point – never. Forever. Amakusa? Gak lah yauw. Dan Schutzie juga sudah menebak bahwa lelaki yang berdiri di depannya ini memang seorang pengecut cap kaleng tikus. Tak bernyali dibandingkan dengan cumi-cumi, eh Mister Amakusa?

"Kau tahu persis aku tak serius, Miss?"

Schutzie tak merasa perlu menjawab pertanyaan retoris itu. Tentu saja idiot! Kau pikir Schutzie juga serius? Tunggulah sampai Slytherin berganti lambang jadi boneka Barbie baru seorang Schutzie menerima ajakan ‘absurd’ itu. Dan bila lelaki itu pikir bahwa seorang Schutzie kecewa karena ajakan tadi hanya sebuah lelucon basi, maka dia salah total. Karena seperti yang seluruh dunia tahu, kan? Schutzie hanya akan sujud syukur dan mencium lambang Salazar Slytherinnya dengan khidmat bila REGULUS BLACK yang ada di hadapannya saat ini. Bukan Amakusa.

Selesai. Minum susu – cuci kaki – gosok gigi – berdoa – tidur. Schutzie baru saja hendak melangkah pergi dan berniat melakukan ritualnya itu ketika ekor tiba-tiba matanya menangkap sosok seorang gadis Asia --lagi-- datang mengendap-endap dan memberi tanda Ssst agar Schutzie tak buka mulut. Dan detik berikutnya gadis Asia itu menutup mata Amakusa. Persis seperti apa yang kerap Schutzie lakukan pada Timothy. Fine. Rupanya semua orang nyaris bersekongko untuk membuat Schutzie semakin homesick dan tak betah berada di Hogwarts.

Amakusa berbalik. Schutzie yakin Mister Meong itu pasti mencak-mencak marah dan mengobral sumpah serapahnya. Tapi. Keliru. Amakusa menatap gadis itu dengan tatapan berbeda. Schutzie bisa melihat ada satu hal yang rumit di mata Amakusa. Entah apa. Bukan urusan Schutzie dan Schutzie tak mau tahu. Come on, sejak kapan seorang Schutzie peduli pada Senior Mister Amakusa yang terhormat? Tanpa menoleh lagi, Schutzie meninggalkan orang-orang itu. Tak perduli pada sebuah tongkat yang melayang di atas kepalanya. Entah mengarah ke mana. Itu tak penting.

Sekali lagi,

Selesai. Minum susu – cuci kaki – gosok gigi – berdoa – tidur

***

00.05